Skip to main content

Beberapa waktu lalu sebuah surat kabar di Inggris melaporkan hasil survei yang mengejutkan. Nasionalisme warga minoritas Muslim di Inggris sangat tinggi hingga mengungguli mayoritas.

Meskipun tidak tertutup kemungkinan bahwa kaum minoritas di Inggris dan negara-negara Barat merasa perlu menunjukkan nasionalisme tinggi agar tidak selalu dicurigai dan diperlakukan sebagai warga kelas dua, laporan ini tak pelak menimbulkan pertanyaan. Apakah kaum Muslim di Inggris yang cinta Inggris bisa dianggap meninggalkan agama Islam? Apakah seseorang bisa menjadi Muslim sekaligus nasionalis meskipun di negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim? Bagaimana relasi Islam dan nasionalisme?

Nasionalisme adalah serapan dari nationalism, yang kadang dialihbahasakan dengan ‘paham kebangsaan’. Nation berarti ‘bangsa’. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994:89), kata bangsa memiliki arti: (1) kesatuan orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya serta berpemerintahan sendiri; (2) golongan manusia, binatang, atau tumbuh-tumbuhan yang mempunyai asal-usul yang sama dan sifat khas yang sama atau bersamaan; dan (3) kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan yang biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi. Beberapa makna kata bangsa di atas menunjukkan arti bahwa bangsa adalah kesatuan yang timbul dari kesamaan keturunan, budaya, pemerintahan, dan tempat.

Dalam bahasa Indonesia, istilah nasionalisme memiliki dua pengertian: paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri dan kesadaran keanggotan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu. Dengan demikian, nasionalisme berarti menyatakan keunggulan suatu afinitas kelompok yang didasarkan atas kesamaan bahasa, budaya, dan wilayah.

Istilah nasionalis dan nasional, yang berasal dari bahasa Latin yang berarti ‘lahir di’, kadangkala tumpang tindih dengan istilah yang berasal dari bahasa Yunani, etnik. Namun, istilah yang disebut terakhir ini biasanya digunakan untuk menunjuk kepada kultur, bahasa, dan keturunan di luar konteks politik.

Dengan demikian, definisi nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris ‘nation’) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Menurut para ahli, ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari situ. Saat itulah, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri.

Ikatan itu tampaknya pula menguat saat ada ancaman pihak asing yang hendak menyerang atau menaklukkan wilayah. Namun, apabila suasananya aman dari serangan musuh dan musuh itu terusir dari negeri itu, kekuatan ini biasanya melemah. Di sejumlah negara, kekhawatiran akan melemahnya nasionalisme mulai dibicarakan, termasuk di Indonesia yang terus terancam oleh disintegrasi sejak era reformasi akibat maraknya wacana lokalisme yang kebablasan.

Nasionalisme ditengarai sebagai produk gagasan sejumlah pemikir dan filsuf Barat. Namun, hal itu tidak sepenuhnya benar karena pandangan Hegel, misalnya, hanya mewakili salah satu model nasionalisme. Pandangan Hegal tentang nasionalisme dapat menggiring sebuah pemerintahan menjadi pemerintahan fasis yang menuntut kepatuhan mutlak terhadap perintah dalam semua aspek kehidupan. Menurut Hegel, kepentingan negara didahulukan dalam hubungan negara-masyarakat karena ia merupakan kepentingan objektif sementara kepentingan tiap-tiap individu adalah kepentingan subjektif. Menurutnya, negara adalah ideal (geist) yang diobjektifikasi, dan karenanya individu hanya dapat menjadi sesuatu yang objektif melalui keanggotaannya dalam negara.

Terdapat ragam model nasionalisme. Yang utama adalah nasionalisme rasis (ultranasionalisme), nasionalisme agama, dan nasionalisme etnis.

Dalam sejarahnya, ultranasionalisme terkait erat dengan rasisme yang mengunggulkan sebagian ras (suku) atas sebagian yang lain. Hal ini melahirkan kecenderungan nasionalisme yang terlalu mementingkan tanah air (patriotisme yang mengarah pada chauvinisme).

Model kedua adalah nasionalisme agama yang berdiri di atas kesamaan agama. Di Irlandia, misalnya, semangat nasionalisme bersumber dari persamaan agama yaitu Katolik. Contoh lain adalah nasionalisme di India, yang dianut pengikut partai BJP, atas dasar kesamaan agama Hindu. Sejumlah partai di Eropa juga mengusung nasionalisme atas dasar kesamaan agama. Dalam realitasnya, nasionalisme keagamaan cenderung menimbulkan fanatisme dan fundamentalisme.

Bentuk lain dari nasionalisme adalah nasionalisme atas dasar kesamaan ras, seperti rezim Apartheid di Afrika Selatan sebelum digulingkan oleh Nelson Mandela dan mayoritas warga kulit hitam, dan nasionalisme fasisme, yang dideklarasikan oleh Adolf Hitler, yang menganggap ras Aria sebagai ras terunggul di dunia.

Ada pula nasionalisme yang dibangun berdasarkan semangat mengunggulkan negaranya sebagai adidaya yang paling beradab. George W Bush dan sebagian Republikan diyakini oleh banyak pengamat sebagai penganut nasionalisme imperialistik karena menganggap negaranya sebagai penguasa dunia.

Di Indonesia, ada kelompok masyarakat yang dianggap lebih mengutamakan nasionalisme daripada keyakinan keagamaan. Mereka disebut kaum abangan.

Secara apriori, abangan adalah sebutan bagi orang atau kelompok yang tidak beriman secara utuh dan tidak konsisten dalam melaksanakan syariat atau hukum agama. Disebutkan bahwa abangan adalah sebutan untuk golongan penduduk Jawa Muslim yang mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodoks. (Muchtarom, Zaini. 1988. Santri dan Abangan di Jawa. Jakarta: Inis.)

Istilah ini, yang berasal dari kata bahasa Jawa yang berarti ‘merah’, pertama kali digunakakan oleh Clifford Geertz tetapi saat ini maknanya telah bergeser. Abangan cenderung mengikuti sistem kepercayaan lokal yang disebut adat daripada hukum Islam murni (syariah). (Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarkat Jawa. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.)

Benarkah abangan sebagai kelompok yang menolak Islam? Apakah mereka menolak Islam atau hanya menolak pandangan keagamaan yang menafikan makna kebangsaan dan jatidiri suku dan bangsa?

Abangan sebenarnya lebih tepat dikatakan kalangan yang menolak taat pada gerakan pemurnian Islam dan memilih kembali kepada Islam sebagai agama rakyat. Abangan justru mempertahankan Islam yang esoteris dan mistik. Ini terlihat dari upacara-upacara yang dipelihara mereka.

Salah satunya adalah slametan yang melambangkan persatuan mistik dan sosial dari orang-orang yang ikut serta dalam slametan itu. Slametan diadakan pada hampir setiap kesempatan, seperti kehamilan, khitanan, kelahiran, perkawinan, kematian, maulid, panen, dan lebaran. Slametan bertujuan mencari keselamatan dalam arti permohonan agar warga tidak terganggu oleh kesulitan alamiah dan gangguan gaib. (Ichtiar Baru van Hoeve, PT. (1993). Ensiklopedi Islam [edisi ke-Cet. 1]. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.)

Sementara itu, “pemurnian Islam” adalah jargon andalan kaum salafi dan wahabi dalam melakukan agresi sektarian yang menyasar ritual seperti tawasul, tahlil, salawat, maulid, dan lainnya yang telah menjadi budaya dan tradisi Islam di Nusantara. Karena itulah, abangan seringkali menjadi korban stigmatisasi dan penyesatan kaum wahabi yang berhasil memasuki Nusantara dan meraih hati sebagian kalangan santri dan priyai.

Ada contoh lain yang menarik diperhatikan. Di tengah sengketa wilayah Nagorno-Karabakh antara Azerbaijan dan Armenia, negara tetangga keduanya, Iran, lebih memihak Armenia (yang berpenduduk mayoritas Kristen) daripada Azerbaijan yang penduduknya seagama dan bahkan semazhab dengan Iran (Islam Syiah).

Mengapa demikian?

Ini karena keutuhan dan integritas wilayah dari ancaman asing lebih penting bagi Iran daripada agama dan mazhab. Rezim di Azerbaijan merupakan proksi Israel musuh Iran, sehingga Iran menunjukkan dukungan kepada Armenia saat Azerbaijan menggelar ofensif di wilayah Nagorno-Karabakh. Ofensif Azerbaijan yang merupakan proksi Israel bagi Iran merupakan ancaman terhadap wilayahnya.

Ini menunjukkan tanah (entitas konkret) sebagai tempat hidup bersama lebih mengikat daripada kesamaan agama (entitas abstrak yang seringkali dipersepsi berbeda oleh tiap individu).

*) artikel ini disalin dari web halopuan.id