NASIONALISME EKSKLUSIF DAN NASIONALISME INKLUSIF
Setiap kali 17 Agustus tiba, nasionalisme tersegarkan kembali dalam aneka ekspresi seperti upacara penghormatan bendera dan perayaan.
Mungkin banyak orang mengira nasionalisme sebagai konsep yang baku dan final sehingga terkesan seolah nasionalisme sebagai klise. Padahal ideologi kebangsaan dipahami dengan berbagai perspektif sesuai konteks zaman dan tempat.
Umumnya nasionalisme negara-negara dunia ketiga atau dunia berkembang cenderung kaku hingga berpotensi mendekati chauvinisme, tribalisme, sektoralisme, dan bahkan rasisme. Nasionalisme yang kaku dan eksklusif sering kali dapat menjadi pemicu bagi munculnya sikap-sikap yang intoleran, diskriminatif, dan ekstrem dalam masyarakat.
Fenomena masyarakat yang cenderung menjadi sektarianis terhadap kelompok keyakinan tertentu dan rasis terhadap kelompok etnis tertentu akibat provokasi intensif bisa menjadi pertanda adanya masalah yang krusial dalam struktur sosial dan politik. Berikut adalah beberapa pandangan mengenai fenomena ini:
Polarisasi dan Konflik Identitas
Peningkatan sektarianisme dan rasis dalam masyarakat sering kali terkait dengan polarisasi identitas, di mana kelompok-kelompok mencoba menegaskan identitas mereka dengan menyoroti perbedaan dan bahkan secara negatif mengkarakterisasi kelompok lain. Hal ini dapat memicu konflik antar kelompok dan memperburuk sikap kedamaian dan toleransi di masyarakat.
Nasionalisme yang Ekstrem dan Eksklusif
Nasionalisme yang jumud atau ekstrem dapat memperkuat pembentukan identitas nasional yang eksklusif, yang menonjolkan satu kelompok etnis atau agama sebagai superior sementara mengesampingkan kelompok lain. Hal ini bisa menyebabkan ketegangan dan konflik antar kelompok yang berbeda.
Kurangnya Pendidikan dan Kesadaran Multikultural
Fenomena sektarianisme dan rasis sering kali juga merupakan hasil dari kurangnya pendidikan dan kesadaran multikultural dalam masyarakat. Pendidikan yang melibatkan nilai-nilai toleransi, pluralisme, dan penghargaan terhadap keberagaman dapat menjadi strategi yang efektif untuk mengatasi sikap diskriminatif dan eksklusif.
Perlunya Dialog dan Rekonsiliasi
Untuk mengatasi fenomena sektarianisme dan rasis, diperlukan upaya konkret dalam menggalang dialog antar kelompok, membangun rasa saling pengertian dan kerjasama, serta mempromosikan rekonsiliasi diantara komunitas yang berbeda. Hanya melalui pemahaman dan penghormatan terhadap diversitas masyarakat, kita dapat mencapai perdamaian dan keberagaman yang berkelanjutan.
Efek dari nasionalisme yang jumud dapat memperkuat polarisasi identitas, menguatkan sentimen sektarianisme dan rasis, serta merusak kerukunan sosial yang ada.
Karena itu, mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam tentang nilai-nilai inklusif, persatuan, dan keadilan adalah kunci dalam menanggulangi fenomena ini dan menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan inklusif
Chauvinisme
Nasionalisme yang kaku dapat berkembang menjadi chauvinisme, yaitu sikap atau keyakinan yang berlebihan atas keunggulan tanah air atau bangsa sendiri, serta meremehkan atau merendahkan bangsa lain. Hal ini dapat mengarah pada sikap superioritas dan prejudis terhadap bangsa atau etnis lain yang dianggap "berbeda".
Tribalisme
Di beberapa negara dunia ketiga yang memiliki keragaman etnis atau suku bangsa, nasionalisme yang kaku bisa berujung pada tribalisme. Tribalisme merupakan sikap eksklusifisme terhadap kelompok suku atau etnis tertentu, yang dapat memicu konflik bahkan pertempuran antar kelompok.
Sektoralisme
Nasionalisme yang kaku juga dapat menjadi sektoralisme, yaitu sikap memihak secara buta terhadap suatu sektor atau kelompok tertentu dalam masyarakat. Hal ini dapat menyebabkan ketidakadilan sosial, kesenjangan ekonomi, dan ketegangan antarkelompok di dalam negara.
Rasisme
Nasionalisme yang kaku dan eksklusif juga bisa berkembang menjadi rasisme, yaitu sikap diskriminatif atau penindasan terhadap kelompok ras tertentu yang dianggap "lebih rendah". Rasisme sering kali berkaitan erat dengan pandangan superioritas etnis tertentu dan penolakan terhadap keberagaman budaya.
Konsep nasionalisme dalam konteks negara-negara Eropa mengalami evolusi dan perubahan makna seiring dengan perkembangan zaman.
Pada masa lampau, nasionalisme sering kali dikaitkan dengan ideologi yang lebih eksklusif, di mana identitas nasional ditentukan oleh etnisitas, bahasa, atau agama tertentu. Namun, seiring dengan perubahan sosial, politik, dan budaya, konsep nasionalisme di Eropa telah mengalami transformasi menuju paradigma yang lebih inklusif dan pluralistik.
Salah satu contoh perubahan tersebut adalah pandangan yang semakin terbuka terhadap kewarganegaraan dan identitas nasional di negara-negara Eropa.
Dalam era globalisasi dan peningkatan mobilitas penduduk, konsep negara bangsa yang dibangun berdasarkan satu etnis atau satu bahasa mulai dipertanyakan. Negara-negara Eropa mulai mengakui dan menghargai keberagaman dan pluralitas dalam masyarakat mereka, serta memberikan perlindungan hukum yang sama kepada semua warganegara tanpa memandang asal usul etnis, agama, atau latar belakang budaya.
Bentuk nasionalisme yang lebih longgar dan inklusif ini sering kali disebut sebagai "nasionalisme liberal" atau "nasionalisme kewarganegaraan". Konsep ini menekankan pada kesamaan nilai-nilai demokratis, hak asasi manusia, pluralisme, dan partisipasi politik dalam sebuah negara, tanpa harus memaksakan satu identitas tunggal.
Pendekatan ini memungkinkan masyarakat Eropa untuk tetap mempertahankan identitas lokal dan budaya mereka, sambil tetap merasa sebagai bagian dari identitas nasional yang lebih luas..
Perubahan makna menuju arah yang lebih longgar dan inklusif ini tercermin dalam upaya membangun negara yang inklusif, demokratis, dan memperhatikan keberagaman masyarakatnya.
Pandangan Bung Karno tentang hubungan antara internasionalisme dan nasionalisme adalah relevan bagi pembentukan nasionalisme yang humanis, inklusif, fleksibel, dan rasional.
Bung Karno memang menyadari pentingnya keseimbangan antara internasionalisme dan nasionalisme dalam membangun bangsa Indonesia yang kuat dan berdaya. Dalam pemikirannya yang inklusif, Bung Karno merumuskan konsep "Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab" sebagai landasan moral yang mengarahkan tindakan dan kebijakan negara. Konsep ini menekankan pentingnya persatuan, keadilan, dan martabat kemanusiaan sebagai nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi oleh suatu bangsa.
Dalam konteks nasionalisme, Bung Karno meyakini bahwa kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia harus dibangun atas dasar keberagaman, toleransi, dan solidaritas. Nasionalisme yang humanis inklusif, fleksibel, dan rasional merupakan visi yang sejalan dengan pemikiran Bung Karno. Nasionalisme yang humanis inklusif mengakui dan menghargai keragaman etnis, budaya, dan agama dalam masyarakat Indonesia, serta mendorong partisipasi semua elemen masyarakat dalam pembangunan negara.
Dalam konteks ini, internasionalisme juga memegang peranan penting sebagai upaya untuk menjalin kerja sama antar bangsa dalam mengatasi tantangan global, seperti kemiskinan, ketimpangan, perubahan iklim, dan konflik. Keseimbangan antara internasionalisme dan nasionalisme dapat menciptakan suatu model nasionalisme yang memperkuat kedaulatan negara, namun juga terbuka terhadap ide dan nilai universal yang bersifat humanis.