NASIONALISME EMOSIONAL
Salah satu tanda nasionalisme emosional adalah tak membedakan pemerintah dengan negara, sehingga menafsirkan kritik terhadap pemerintah sebagai sikap anti-negara dan tidak cinta tanah air.
Dalam beberapa kasus, terutama dalam negara yang memiliki kecenderungan nasionalisme yang tinggi, ada kecenderungan untuk mengaitkan pemerintah dengan negara. Dalam konteks ini, apapun tindakan yang diambil oleh pemerintah dianggap sebagai representasi dari kepentingan negara secara keseluruhan. Hal ini dapat menyebabkan orang-orang menjadi buta nalar dan sulit untuk membedakan antara kritik terhadap pemerintah dengan sikap anti-negara.
Nasionalisme emosional seringkali dimanfaatkan oleh pemerintah atau kelompok-kelompok tertentu untuk memperkuat legitimasi dan melawan kritik terhadap kebijakan atau tindakan pemerintah. Dengan memposisikan diri sebagai "pelindung" negara dan menuduh kritik atau oposisi sebagai anti-negara, pemerintah dapat memanipulasi opini publik dan membatasi kebebasan berpendapat.
Kritik terhadap pemerintah adalah bagian yang penting dalam demokrasi yang sehat. Menyalurkan kritik terhadap kebijakan pemerintah merupakan hak warga negara yang harus dihormati. Namun, dalam konteks nasionalisme emosional, orang-orang cenderung sulit menerima kritik dan bersikap defensif terhadap pemerintah, tanpa melakukan pemikiran kritis terhadap tindakan atau kebijakan yang dipertanyakan.
Ketidakmampuan membedakan antara pemerintah dan negara, serta menganggap kritik terhadap pemerintah sebagai bentuk pengkhianatan terhadap negara, dapat mengakibatkan penolakan terhadap pembenaran, oposisi yang tertindas, dan pembatasan kebebasan berpendapat. Hal ini dapat menghambat proses demokratisasi dan mendorong otoritarianisme.
Salah satu tanda lain nasionalisme emosional adalah glorifikasi upacara dan simbolisme semata dalam peringatan Hari Kemerdekaan tanpa peningkatan wawasan kewarganegaraan, toleransi, dan demokrasi
Nasionalisme emosional sering kali termanifestasi dalam glorifikasi simbol-simbol nasional dan upacara, di mana perhatian lebih difokuskan pada aspek seremonial dan seremoni tanpa sempat merenungkan makna sebenarnya dari perayaan tersebut. Upacara dan simbolisme tersebut menjadi pusat perhatian dan dianggap sebagai cara yang paling efektif untuk mengekspresikan rasa nasionalisme, tanpa adanya refleksi kritis terhadap nilai-nilai yang sebenarnya ingin diperjuangkan.
Kegagalan dalam mengimbangi glorifikasi simbol dan upacara dengan peningkatan wawasan kewarganegaraan, toleransi, dan demokrasi dapat menjadi indikasi kurangnya pendidikan kewarganegaraan yang efektif. Pendidikan kewarganegaraan yang baik seharusnya tidak hanya menekankan pada pengenalan simbol dan tradisi nasional, tetapi juga memperkenalkan nilai-nilai demokrasi, pluralisme, toleransi, dan partisipasi aktif dalam kehidupan demokratis.
Kurangnya pemahaman yang mendalam tentang wawasan kewarganegaraan, toleransi, dan demokrasi dapat mengakibatkan kesadaran warga negara yang terbatas dan kurang kritis. Ketika perayaan Hari Kemerdekaan hanya difokuskan pada aspek upacara dan simbolis, tanpa kesempatan untuk mempertanyakan nilai-nilai yang mendasarinya, maka masyarakat cenderung menjadi pasif dan tidak aktif dalam menuntut akuntabilitas pemerintah, memperjuangkan hak-hak asasi, dan membangun masyarakat yang inklusif.
Dengan begitu, peringatan Hari Kemerdekaan dapat menjadi momentum untuk memperkuat persatuan, memupuk semangat kebangsaan yang inklusif, dan mendukung perkembangan kewarganegaraan yang lebih baik.