Suatu hari seorang teman mengeluhkan prilaku anaknya. “Anakku bicara sendiri di dalam kamarnya. Apa aku mesti konsultasi dengan psikolog?” tanyanya. “Bagus,” kataku seenaknya.
Beberapa hari kemudian kita berjumpa lagi. “Bagaimana anakmu? Sudah dibawa ke psikolog?” tanyaku.
“Sudah. Ternyata, dia ketagihan sinetron yang sering menampilkan adegan pemeran yang selalu bicara sendiri,” jawabnya dengan mulut meringis.
Setelah aku perhatikan, ternyata “adegan ngomong sendiri” itu menjadi bagian “wajib” dalam dunia sinteron kita di Tanah Air. Ada sejumlah alasan di balik itu.
Pertama, para pembuat sinteron menganggap cerita sinetronnya terlalu njelimet sehingga bila tidak dibantu dengan adegan “ngomong sendiri” dikhawatirkan pemirsa tidak mengerti.
Kedua, para pembuat sinetron terlalu meremehkan pemirsa di Indonesia. Karena itu, mereka menganggap cerita-cerita yang umumnya “itu-itu juga” itu mesti disederhanakan bahkan disetarakan dengan kartun. Mereka tidak yakin bahwa alur cerita yang menarik bisa diolah sendiri oleh penonton. Padahal “ngomong sendiri” itu dimunculkan sebagai ganti dari ide di benak pemeran tokoh dalam cerita.
Ketiga, “ngomong sendiri” adalah jurus murah meriah untuk menghindari sajian skrip yang memerlukan olah pikiran, apalagi biasanya semuanya tentang cinta yang dibalut dengan keculasan, keserakahan, perebutan pasangan dan kesedihan yang minta ampun ngirisnya.
Keempat, “ngomong sendiri” adalah modus kampungan yang bisa dianggap sebagai cara para sineas menjadikan penonton sebagai keranjang sampah. Bayangkan! Mulai dari pemeran nenek sampai babu juga melakukan akting “ngomong sendiri”.
Semoga “ngomong sendiri” tidak menjadi trend baru dan prilaku umum.
Baca juga:
Jangan Biarkan Anak Anda “Ngomong Sendiri”