Skip to main content

“NGOTOT” DI BALIK NAMA

“Nama adalah doa.” (Hadis)

Beberapa hari lalu kita dihebohkan oleh berita penangkapan seseorang yang dikenal pecandu khilafah di sebuah hotel mewah karena dituduh melakukan makar.

Tulisan ini tidak mengulas relasi makar dengan kemewahan, juga tidak tidak membicarakan orang yang dianggap sebagai komisaris beberapa perusahaan yang bergerak dalam bisnis industri kebencian sektarian, karena memang tidak penting. Tapi di balik peristiwa penagkapan itu, kontroversi seputar nama asli (pribumi) dan nama agama yang disandangnya mencuat. Tulisan ini mengulas nama.

Nama berasal dari kata Persia “Nama” نما atau نماد yang berarti tanda dan نامه yang berarti surat. Nama adalah tanda personal untuk entitas partikular seperti Budi dan Agus juga untuk entitas universal sebagai genus dan spesies seperti manusia dan kuda. Secara umum nama juga dapat dianggap sebagai kata yang dilekatkan pada apapun baik benda, perbuatan dan lainnya.

Pada dasarnya nama bukan bagian integral dari benda dan perbuatan yang bernama. Agar tidak repot menghadirkan setiap benda saat dinginkan atau diberitahukan kepada orang lain, maka disepakatlah kata khusus (nama) untuk setiap benda dan perbuatan. Baca juga:  Nama-Nama Terpanjang

Pemberian nama adalah salah satu peristiwa besar dalam hidup seseorang. Dalam ajaran agama ada ritus khusus untuk itu, disebut aqiqah yang dilaksanakan pada hari ketujuh kelahiran. Dalam tasyakuran ini, ayah dianjurkan untuk menyembelih kambing lalu membagikannya berupa hidangan atau potongan daging kepada tetangga dan kerabat sebagai upacara resmi penyematan nama untuk anaknya. Baca juga:  NAMA TUHAN

Nabi Muhammad menganjurkan pengikutmya untuk menghormati anak yang dilahirkan dengan pemberian nama yang baik, karena “nama adalah doa” yang mengekspresikan kehendak dan harapan mulia kedua orang tuanya.

Nama baik tak harus berasal dari bahasa Arab, karena doa yang dimaksud dalam sabda Nabi berhubungann dengan makna di balik kata yang dijadkkan nama. Anehnya, sekarang banyak orang memberi anaknya nama yang bermakna doa, namun terdengar indah, meski sebagian tak bermakna atau terdengar aneh.

Yang dikhawatirkan adalah sebagian nama-nama samaran atau alias, seperti “Abu” yang disandingkan dengan nama anak atau lainnya sebagai kun’yah yang sengaja dipakai dan bahkan diutamakan demi melepaskan dari tanggungjawab moral dan konsekuensi hukum.

Boleh jadi, orang yang ditangkap di sebuah hotel super mewah itu mengganti nama aslinya bukan karena merasa menyesali nama pemberian orangtuanya, tapi karena nama kedua yang berasal dari bahasa Arab itu karena dianggap lebih sesuai dengan jabatan (yang diklaimnya) sebagai pemimpin umat Islam di negara ini.