Seorang teman cerita bahwa dia sekarang aktif dalam kajian-kajian bertema sufi. Setelah ngobrol, ternyata dia juga aktif meremehkan kelompok lain dan tema-tema lain.
Mengkaji tema-tema mistik kadang hanya trend dan gaya hidup, tidak berbanding lurus dengan kerendahan hati dan toleransi yang biasanya menjadi buahnya.
Mistisisme sejati tercermin dalam prilaku, bukan dalam tema-tema melangit yang hanya dijangkau segelintir orang terdidik dan tidak sibuk dengan nafkah dapur.
Mistisme sejati menghilangkan jarak dengan Tuhan dan makhluk, bukan malah menciptakan elitisme, eksklusivisme dan intoleransi.
Menjadi pribadi yang tidak mengusili orang lain saja sulit, apalagi menjadi pribadi baik, apalagi menjadi pribadi sufi (bersih).
Menjalani sair suluk amali tak perlu biaya, registrasi dalam sebuah ordo, bahkan kadang tidak perlu mursyid. Hanya perlu “selesai dengan diri sendiri.”
Makin banyak tema tasawuf, irfan dan mistisisme dikaji, makin besar tanggungjawab melaksanakannya. Menjadi sufi berarti menjadi simple.
Sebagian mengkaji tema-tema sufi untuk mencari justifikasi keterikatan pada agama secara esoterik semata supaya bebas dari konsekuensi-konsekuensi eksoteriknya.
Bergaul dgn orang-orang yang terabaikan adalah cara mudah belajar jadi sufi, bukan ikut program uzlah di vila sejuk atau paket khusyuk di hotel berbintang.
Sebagian mengkaji tema-tema sufi utk mencari justifikasi keterikatan pada agama secara batin semata supaya bebas dari konsekuensi-konsekuensi lahir (fikih)nya.
Membaca buku-buku filsafat dan science dengan akal. Menelaah karya-karya sufi dengan hati. Membaca kehidupan perlu akal dan hati.
Baca: KEYAKINAN DAN PERILAKU, juga KEYAKINAN DAN PERILAKU