Ambiguitas Makna Cinta dan Sejenisnya
Kata suka, sayang dan cinta dalam komunikasi popular bahasa Indonesia sangat cair dan tidak punya parameter yang tegas, apalagi tak banyak orang yang menjaga kedisplinan dalam diksi dan ujaran, ditambah lagi mindset dan doktrin yang terlanjur membuat banyak orang memaknai tiga kata tersebut sebagai afeksi atau pengalaman psikis yang berada ribuan mil dari radar logika.
Boleh jadi mindset ini tertanam dari lirik lagu, kisah film, novel roman atau puisi cinta platonis yang sebagian besar kontennya menganggap cinta sebagai bebas nilai alias tak dibatasi norma agama dan sistem logika.
Mawaddah, Rahmah dan Kata Sejenisnya
Itulah sebabnya kata mawaddah dan rahmah dalam ayat “Dan Dia telah menetapkan mawaddah dan rahmah di antara kamu (QS. Ar-Rum : 4) tidak bisa serta merta diterjemahkan dengan cinta dan sayang sesuai pemahaman masyarakat umum yang berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.
Kata kunci kedua untuk kebahagiaan pasangan dalam Al-Qur’an yang Mulia adalah mawaddah (kasih sayang), yang didefinisikan oleh Allamah Tabataba’i “Rah” dalam interpretasi Al-Mizan sebagai ” cinta yang efeknya nyata di domain praktis”. (Tafsir Al-Mizan, vol. 16 hal. 166).
Cinta (Al-Hubb) adalah perasaan kecenderungan kepada sesuatu yang dipandang sebagai sebuah kesempurnaan, seperti cinta kepada anak, uang, kekuasaan, makanan dan sebagainya yang biasa disebut suka.
Perasaan batin ini dapat dialami tanpa diekpresikan dengan tindakan atau ekspresi apapun dari manusia. Itulah hubb. Tetapi ketika kecenderungan ini diekspresikan secara verbal “Aku mencintaimu,” atau secara aktual misalnya memberinya sesuatu yang lazim dianggap sebagai pertanda cinta, itulah disebut mawaddah (kasih sayang).
Relasi hubb (suka, cinta) dengan mawaddah mirip dengan relasi khusyu’ (kerendahan hati) dengan khudhu’ (kepasrahan) yang merupakan dampak psikologis dari keagungan, sedangkan ketundukan adalah ekspresi praktis dari kerendahan hati itu berupa aksi rukuk, sujud, dan sejenisnya. Cinta atau suka (hubb) adalah efek psikologis yang dihasilkan dari kecenderungan kepada sesuatu, dan mawaddah (sayang) adalah ekspresi praktis dari hubb.
Karena manusia pada umumnya memberikan perhatian yang cukup besar kepada kecenderungan ini untuk dirawat dan dipendamnya selama waktu tertentu dan mungkin diungkapkannya pada waktu lain, jumlah kosa semakna itupun (dalam bahasa Arab) yang digunakan pun kian banyak dan bervariasi. Karena itu pula, ia menjadi salah satu tema paling rumit dalam filsafat dan psikologi.
Para ahli bahasa Arab telah menghimpun sedikitnya 50 kata yang bermakna cinta atau semaknanya, antara lain almahabbah, al-hawa, asy-syaghaf, at-taym, ash-shabwah, ash-shababah, al-isyq, al-lahf, al-futun, al-wud, al-gharam, al-hiyam, al-walah, al-jawa, asy-syahd, al-hanin, al-wajd, al-khillah, ad-danaw dan asy-syauq.
Cinta atau Nikah Dulu?
Banyak orang menolak pinangan tanpa logis hanya karena tak merasakan apa yang disebutnya cinta tanpa pertimbangan. Banyak orang menerima lamaran hanya karena merasa jatuh cinta. mereka berlomba mengisi kata cinta dengan pemahamannya masing-masing secara subjektif sebagai perasaan tertentu yang sangat kuat mempengaruhi dirinya. Begitu absolutnya dan sakral ilusi tentang pengalaman personal ini sehingga mereka tunduk pasrah membeli “kucing dalam karung.” Anehnya, “cinta yang suci” ini umumnya diawali dengan ketertarikan visual dan motif lainnya.
Padahal, Allah dalam surah Ar-Rum meletakkan kata mawaddah dan rahmah setelah kata suami dan isteri.
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar Rum:21). Terjemahan Kemenag ini pun mewakili salah satu penafsiran dan pemahaman tertentu tentang makna mawaddah dan rahmah.
Sebagian besar mufassir memahami kata “azwajan” sebagai ikatan suami – isteri yang telah terjalin dalam pernikahan. Dan karenanya, menganggap cinta sebagai buah hubungan harmonis suami dan isteri. Sebagian kecil memahaminya sebagai “pasangan” dalam konteks umum relasi antar jenis kelamin, bukan dalam konteks khusus perkawinan. Dan karenanya, menjadikan cinta dalam pengertian umum sebagai syarat psikologis sebelum laki dan perempuan menikah.
Soal mana yang lebih diutamakan, nikah atau cinta, sudah saya bahas dalam sebuah tulisan beberapa tahun silam. Ini sekadar penjabaran tambahan. NIKAH DULU, BARU CINTA ATAU CINTA DULU, BARU NIKAH?
Ambiguitas Makna Cinta dan Sejenisnya
Kata suka, sayang dan cinta dalam komunikasi popular bahasa Indonesia sangat cair dan tidak punya parameter yang tegas, apalagi tak banyak orang yang menjaga kedisplinan dalam diksi dan ujaran, ditambah lagi mindset dan doktrin yang terlanjur membuat banyak orang memaknai tiga kata tersebut sebagai afeksi atau pengalaman psikis yang berada ribuan mil dari radar logika.
Boleh jadi mindset ini tertanan dari lirik lagu, kisah film, novel roman atau puisi cinta platonis yang sebagian besar kontennya menganggap cinta sebagai bebas nilai alias tak dibatasi norma agama dan sistem logika.
Mawaddah, Rahmah dan Kata Sejenisnya
Itulah sebabnya kata mawaddah dan rahmah dalam ayat “Dan Dia telah menetapkan mawaddah dan rahmah di antara kamu (QS. Ar-Rum : 4) tidak bisa serta merta diterjemahkan dengan cinta dan sayang sesuai pemahaman masyarakat umum yang berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.
Kata kunci kedua untuk kebahagiaan pasangan dalam Al-Qur’an yang Mulia adalah mawaddah (kasih sayang), yang didefinisikan oleh Allamah Tabataba’i “Rah” dalam interpretasi Al-Mizan sebagai ” cinta yang efeknya nyata di domain praktis”. (Tafsir Al-Mizan, vol. 16 hal. 166).
Cinta (Al-Hubb) adalah perasaan kecenderungan kepada sesuatu yang dipandang sebagai sebuah kesempurnaan, seperti cinta kepada anak, uang, kekuasaan, makanan dan sebagainya yang biasa disebut suka.
Perasaan batin ini dapat dialami tanpa diekpresikan dengan tindakan atau ekspresi apapun dari manusia. Itulah hubb. Tetapi ketika kecenderungan ini diekspresikan secara verbal “Aku mencintaimu,” atau secara aktual misalnya memberinya sesuatu yang lazim dianggap sebagai pertanda cinta, itulah disebut mawaddah (kasih sayang).
Relasi hubb (suka, cinta) dengan mawaddah mirip dengan relasi khusyu’ (kerendahan hati) dengan khudhu’ (kepasrahan) yang merupakan dampak psikologis dari keagungan, sedangkan ketundukan adalah ekspresi praktis dari kerendahan hati itu berupa aksi rukuk, sujud, dan sejenisnya. Cinta atau suka (hubb) adalah efek psikologis yang dihasilkan dari kecenderungan kepada sesuatu, dan mawaddah (sayang) adalah ekspresi praktis dari hubb.
Karena manusia pada umumnya memberikan perhatian yang cukup besar kepada kecenderungan ini untuk dirawat dan dipendamnya selama waktu tertentu dan mungkin diungkapkannya pada waktu lain, jumlah kosa semakna itupun (dalam bahasa Arab) yang digunakan pun kian banyak dan bervariasi. Karena itu pula, ia menjadi salah satu tema paling rumit dalam filsafat dan psikologi.
Para ahli bahasa Arab telah menghimpun sedikitnya 50 kata yang bermakna cinta atau semaknanya, antara lain almahabbah, al-hawa, asy-syaghaf, at-taym, ash-shabwah, ash-shababah, al-isyq, al-lahf, al-futun, al-wud, al-gharam, al-hiyam, al-walah, al-jawa, asy-syahd, al-hanin, al-wajd, al-khillah, ad-danaw dan asy-syauq.
Cinta atau Nikah Dulu?
Banyak orang menolak pinangan tanpa logis hanya karena tak merasakan apa yang disebutnya cinta tanpa pertimbanga. Banyak orang menerima lamaran hanya karena merasa jatuh cinta. Secara mereka berlomba mengisi kata cinta dengan pemahamannya masing-masing secara subjektif sebagai perasaan tertentu yang sangat kuat mempengaruhi dirinya. Begitu absolutnya dan sakral ilusi tentang pengalaman personal ini sehingga mereka tunduk pasrah membeli “kucing dalam karung.” Anehnya, “cinta yang suci” ini umumnya diawali dengan ketertarikan visual dan motif lainnya.
Padahal, Allah dalam surah Ar-Rum meletakkan kata mawaddah dan rahmah setelah kata suami dan isteri.
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar Rum:21). Terjemahan Kemenag ini pun mewakili salah satu penafsiran dan pemahaman tertentu tentang makna mawaddah dan rahmah.
Sebagian besar mufassir memahani kata “azwajan” sebagai ikatan suami – isteri yang telah terjalin dalam pernikahan. Dan karenanya, menganggap cinta sebagai buah hubungan harmonis suami dan isteri. Sebagian kecil memahaminya sebagai “pasangan” dalam konteks umum relasi antar jenis kelamin, bukan dalam konteks khusus perkawinan. Dan karenanya, menjadikan cinta dalam pengertian umum sebagai syarat psikologis sebelum laki dan perempuan menikah.
Soal mana yang lebih diutamakan, nikah atau cinta, sudah saya bahas dalam sebuah tulisan beberapa tahun silam. Ini sekadar penjabaran tambahan. Semoga berguna. berguna.