Skip to main content

“No body’s perfect” sekilas masuk akal. Tapi bila diperhatikan dengan seksama, itu mengungkap nihilitas, absurditas dan hilangnya arti sejati tentang “manusia”.

“No body’s perfect” adalah kata tak bermakna bila “perfect body” tidak ada. Tak ada “tak sempurna” bila tak ada “sempurna”.

Dihadirkan manusia-manusia suci supaya tidak silau dengan manusia yang tidak suci apalagi intoleran, apalagi mengkafirkan para pecinta manusia-manusia suci, bergelar habib atau kyai atau lainnya.

Konsekuensi keyakinan terhadap kesucian orang-orang yang diyakini imam adalah menjadikan para manusia suci sebagai tolok ukur, model prima dan penangkal kultus (pemujaan tak berdasar akal sehat).

Manusia-manusia suci dihadirkan agar manusia-manusia menduplikasinya. Bila tidak suci, tak ada obligasi logis untuk menduplikasinya. Itulah krisis kemanusiaan.

“Manusia suci” dalam teologi Katolik sangat penting demi menjamin terpeliharanya sakralitas ajaran gereja. Karena itu, ada upacara pelantikan “manusia suci.”

Karena tidak meyakini adanya manusia sempurna, sebagian orang justru menjadikan manusia setara kualitasnya sebagai panutan taken for granted. Menolak imam dan manusia suci justru menyeretnya kepada pengimaman orang yang setara. Akibatnya, jumlah imam dan manusia suci dalam masyarakat yang menolak adanya manusia suci lebih banyak dari jumlah manusia suci yang sejak semula diyakini sebagai prototype manusia alias manusia2 suci demi menjamin kesucian agama.