Diberi tak selalu menyenangkan. Tapi diminta juga tak mesti meresahkan. Itulah “nomor rekening”. Per definsi, norek, begitu singkatannya, adalah nomor khas dalam transaksi perbankan. Fungsinya untuk menarik dan memasukkan uang, atau sekadar memindahkan (transfer) jumlah nominalnya.
Kalau dipikir-pikir, norek itu sepertinya nomer sakti. Apalagi jika mengingat efeknya yang benar-benar ajaib multidimensi. Makanya wajar jika sebagian orang menganggap norek sebagai mukjizat di abad posmodern. Celengan, “kotak kencleng”, amplop, dan semua wadah uang tradisional dikudeta tanpa ampun. Semuanya dibuat terlihat begitu kuno dan ketinggalan zaman.
Norek bisa jadi karunia bagi yang diminta. Tapi, bisa pula menjadi petaka bagi yang diberi. Perilaku yang baik bahkan bisa disulap menjadi sangat buruk. Tak hanya sampai di situ. Gara- gara norek pula, figur yang sangat dihormati dapat saja tersungkur dan dicemooh dalam sekejap.
Terlepas dari kerumitan dan pentingnya kredibilitas pihak pemohon, ikhtiar membangun sarana ibadah atau pendidikan, termasuk penggalangan dananya, tentu layak diapresiasi, selama memang dikelola secara profesional dan transparan. Kendati, di tengah kepungan wabah menahun yang mengakibatkan kelesuan ekonomi, semua itu bukanlah prioritas.
Hanya satu pihak yang boleh jadi terbebas dari beban psikologis saat mendapat sirkuler permohonan sumbangan. Siapa dia? Itulah pihak yang dipaksa oleh keadaan, tak lagi punya norek karena tak dapat menyumbang sesuatu yang tak dapat diverifikasi.