Skip to main content

Alkisah, ada oknum yang buku riwayat pendidikan–yang menjaminnya kapabel–“kosong melompong”, sejarah kiprah sosial nyatanya “gelap”, dan jejak karya intelektual–yang mengafirmasi kredibilitasnya–sunyi senyap. Tapi, lha kok nekat dan vulgar menghujat sosok yang diakui luas sebagai ulama kompeten dan punya jam terbang mentereng dalam isu-isu intelektual keagamaan.

Oknum striker kelas tarkam (pertandingan antar kampung) itu faktanya miskin prestasi. Akibatnya, hujatan itu dapat dengan mudah diidentifikasi sebagai modus “nebeng ngetop”. Cita-cita tertingginya adalah, media spesialis copas sudi mengutip celotehan tak bermutunya.

Ia mengira gelar yang semula mulia karena diasosiakan kepada Nabi SAW dan keluarga suci beliau yang dideretkan oleh oknum tak suci ini dengan namanya cukup mujarab sebagai alat menggertak khalayak agar ramai-ramai ikut menghujat, memaki, dan mengisolasi tokoh itu di ruang publik.

Rupanya oknum itu belum move on dari ilusi superiorisme garis keturunan di atas rasio dan logika. Juga, belum siuman dari semaput nostalgia sehingga tidak ngeh jika publik di abad internet mengalami lompatan kecerdasan yang tak terbatas akibat arus informasi yang begitu deras dan akses terhadapnya yang mudah dan beragam.

Lebih menggelikan lagi, ia mengira mencatut nama ormas Islam bersejarah akan membuatnya dipandang otoritatif untuk menghujat. Padahal, ormas yang namanya dicatut itu justru getol melawan kejumudan dan intoleransi serta menganjurkan wasathiyah ( moderasi) (yang jelas-jelas bertolak belakang dengan sikap dan pernyataannya). Maka, catut-mencatut itu tak lebih dari modus kampungan untuk memanipulasi kenyataan dirinya yang inkompeten jadi sim salabim “kompeten seolah-olah” di mata publik.

Tak sependapat dengan seseorang tentu sah-sah saja. Tapi, di alam pikir intelek yang punya aturan main sendiri, keberatan hingga bantahan wajib berbentuk diskursus dan diskusi, bukan tendensius dan insinuasi, apalagi main menghakimi sesat, berbahaya, dan seabrek makian provakatif yang dialamatkan kepada pribadi tertentu.

Boleh jadi karena merasa “keder” akibat tak selevel jika berduel argumen secara intelek dengan figur cendekiawan, akhirnya, tak ada jalan bagi seorang oknum tarkam selain memuntahkan argumentum ad hominem.