Skip to main content

Obama: Black (Man) In White (House)

By January 23, 2009No Comments

obama_uncle_sam

Sebuah artikel menarik berjudul “Obama dan Warna Kulit yang Bermakna”. Bila cukup waktu, mari kita baca.

Apa makna pelantikan Obama? Saya tidak akan melakukan tinjauan politik. Tinjauan saya ada dalam ranah budaya. Oleh karena itu, selanjutnya pertanyaan saya adalah: “Apakah warna kulit bisa bermakna?” Jawabnya: “Ya, bahkan bisa sangat bermakna”.

Obama yang dilantik tanggal 20 Januri 2009 ini adalah seorang warga kulit hitam: ayahnya kulit hitam warga Kenya dan ibunya kulit putih warga Amerika Serikat (AS). Di AS, meskipun ibunya kulit putih, tapi ayahnya kulit hitam, atau sebaliknya, seseorang biasanya termasuk dalam kategori sosial kulit hitam; padahal bisa saja warna kulitnya agak “bule”.

Kalau begitu, apa makna warna kulit Obama? AS adalah sebuah negara yang memiliki sejarah rasialisme kulit hitam dan sampai tahun 50-an masih menerapkan segregasi rasial warna kulit di wilayah Selatan. Segregasi rasial di AS adalah segregasi berdasarkan warna kulit dengan dikotomi “putih” – “hitam”. Di AS warna kulit bukan “warna”, tetapi “kategori sosial”.

Pengetahuan kita tentang sejarah AS, meskipun secara amatir, memberikan makna khusus atas warna kulit Presiden AS ke-44 itu. Makna instan yang secara umum diberikan kepada warna kulitnya ialah ‘(harapan) perubahan dan pembaharuan’.

Perubahan dan pembaharuan bahkan diharapkan oleh dunia. Khususnya di Afrika Hitam, warna kulit bahkan mempunyai makna ‘harapan akan perubahan’ dan ‘kebangkitan kulit hitam’.

Di AS sendiri sebagian besar rakyatnya menumpangkan harapan besar akan perubahan dan penanggulangan krisis sosial ekonomi pada Obama yang dipandang lebih mengerti kaum papa. Dengan seseorang berkulit hitam menjadi penguasa di negara itu kita telah menyaksikan betapa sebagian besar rakyat AS merasa telah berhasil menghapus sisa-sisa sosial budaya dari sejarah segregasi rasial. Jadi, rakyat Amerika telah memberikan makna baru pada warna kulit: kemampuan lebih penting daripada warna kulit.

Dalam komposisi kabinet Obama pun terlihat ada keterwakilan kelompok etnis yang cukup signifikan. Ada usaha untuk memanifestasikan pengakhiran ‘sejarah warna kulit’ di negeri Paman Sam itu, meskipun kita percaya kompetensi menjadi dasar utama dalam memilih menteri-menterinya.

Sebuah perubahan “perilaku” pemerintah AS baik yang berkaitan dengan politik dalam negeri maupun luar negeri sedang dinantikan. Meskipun reaksi dunia bervariasi – seperti kita saksikan dalam berbagai media di dalam dan luar negeri – intinya adalah “harapan” akan terjadinya “perubahan” di dalam dunia yang sedang mengalami berbagai krisis.

Tentu saja tidak fair kalau harapan yang terlalu besar kita letakkan kepada seorang Obama. Namun, apa boleh buat: AS adalah negara besar. Dari pengamatan saya sejauh ini, pada diri Obama tersimpan dua aspek yang bermakna, yakni “warna kulit” dan “keberhasilannya menjadi presiden sebuah negara besar yang mempunyai sejarah segregasi rasial warna kulit ”.

‘Harapan akan perubahan’ adalah makna instan yang terjadi sementara ini. Makna ini dapat saja berubah dengan perkembangan sejarah dunia. Ditinjau dari kaca mata semiotik, manusia cenderung memberikan makna pada apa yang ada di sekitarnya.

Apa yang ada pada seorang Obama dapat diberi makna instan sesuai dengan latar budaya pemberi makna. Proses ini disebut semiosis. Jadi, beda di Amerika, Afrika Hitam, serta beda pula di Indonesia.

Di Indonesia secara umum masyarakat memberikan makna kepada Obama dengan mengungkapkan masa kecilnya ketika menjadi murid SD Jalan Besuki, Jakarta Pusat. Warna kulitnya yang masuk golongan “hitam” tidak diberi makna ‘hitam’. Obama lebih dimaknai sebagai bagian dari sejarah Indonesia.

Bahkan sejumlah cendekiawan Islam di Indonesia melihat harapan bahwa Obama akan dapat menyelesaikan masalah hubungan yang kurang baik antara AS dan dunia Islam “karena Obama dekat dengan Indonesia sebagai Negara berpenduduk Islam terbanyak”. Itulah sementara semiosis yang terjadi. Kita belum tahu proses semiosis apa yang akan terjadi dalam proses sejarah kita selanjutnya.

Akhirnya, pelajaran apa yang dapat kita lihat dari “fenomena Obama” ini? Sebetulnya, pelajaran yang paling penting adalah keberhasilan rakyat Amerika (baca: para pemilihnya termasuk yang berkulit putih) melakukan perubahan besar dalam pandangan budayanya, yakni bahwa sekarang seorang berkulit hitam juga bisa memasuki Gedung Putih sebagai orang nomor satu di negeri itu.

Negara yang multikultur, tetapi mempunyai sejarah segregasi warna kulit, telah berhasil memperjelas manifestasi multikulturalnya dengan menuntaskan pemecahan masalah berat, yakni “siapa pun – terlepas dari warna kulitnya – dapat menjadi presiden Amerika”. Ini adalah suatu keputusan besar. Suatu bukti bahwa warna kulit dapat bermakna tanpa manusia menyadarinya.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Dapatkah kita bayangkan seorang yang tidak digolongkan “pribumi” menjadi “RI Satu”. Perjalanan kita kelihatannya masih jauh karena menurut konstitusi kita Pasal 6 ajat 1: “Presiden ialah orang Indonesia asli”. Di sini pun masih ada isu”Jawa-non-Jawa”. Kenyataan sejarah sosial budaya kita tentunya tidak sama dengan Amerika Serikat. Jadi, marilah kita lihat perkembangan sejarah negeri kita tercinta ke depan.

(*) Benny H. Hoed, Guru Besar Emeritus, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia