Obama versus Hillary: Antara Isu Gender, Ras dan Agama
Bangsa Amerika yang umumnya mengaku paling menghargai kesetaraan sedang diuji oleh dua kandidat capres dari Partai Demokrat, Hallary Rodham Clinton yang berkelamin perempuan dan Barack Hussein Obama, yang bersal dari Afro-Amerika dan diisukan beragama Islam karena ayahnya seorang Muslim.
Isu dan sentimen ras dan gender seakan menjadi bumbu dan pemantik aksi saling sendir dan serang antar dua calon itu. Persaingan bakal calon presiden Amerika Serikat (AS) di kubu Partai Demokrat makin sengit. Yang terbaru, Hillary Rodham Clinton dan Barack Obama terlibat aksi saling serang terkait isu rasial dalam sesi kampanye masing-masing. Rangkaian jadwal primary, pemilihan pendahuluan, di negara-negara berpenduduk kulit hitam akan diawali di South Carolina 26 Januari nanti. Negara itu dihuni 30 persen warga kulit hitam sehingga isu rasial potensial untuk diangkat.
Hillary Clinton sebagai wanita pertama yang mencalonkan diri menjadi presiden Amerika juga memiliki keuntungan tersendiri dengan predikatnya sebagai seorang wanita. Bagi kalangan yang memperjuangkan hak-hak perempuan, Hillary dianggap sebagai sosok yang mampu membuktikan kepada dunia bahwa perempuan memang mampu untuk sejajar dengan laki-laki. Dukungan pun mengalir dari berbagai organisasi pengusung hak-hak perempuan. Hillary juga memiliki keuntungan lain dari pengalamannya sebagai seorang senator dan istri mantan presiden Bill Clinton.
Selain itu, Hillary menikmati sentimen positif terhadap ”Clinton” di belakang namanya tersebut. Namun di luar semua itu, gender card tetap akan menjadi satu poin krusial bagi kampanyenya. Woman should vote for a woman.
Sedangkan bagi Obama, sebagai seorang African-American pertama yang mencalonkan diri menjadi presiden, ras afro memiliki daya jual tinggi dan pesona luar biasa terutama bagi para pemilih kulit hitam di Amerika. Ada antusiasme tersendiri ketika melihat seseorang dengan background keluarga imigran dan juga kaum minoritas berhasil menembus persaingan menuju presidential candidacy Amerika yang begitu kompetitif. Euphoria ini pun berhasil menjadi booster bagi kampanye Obama yang memang mengusung tagline ”Change we can believe in”. Obama merupakan representasi dari perubahan, sebuah alternatif for those who tired of Washington politics.
Tapi, salah satu keunggulan sekaligus bumerang bagi Barack Obama adalah isu ‘Islam’ yang konon disemburkan oleh para staf kampanye Clinton. Inilah yang membuat Obama terlihat kelabakan adalah nama tengahnya.
Pukulan makin terasa keras manakala fotonya yang mengenakan sorban saat berkunjung ke negeri Arab di Afrika, Somalia beredar. Foto tersebut pertama kali dimuat oleh situs The Drudge, yang mengaku mendapatnya dari juru kampanye Hillary Clinton melalui sebuah email.
Obama segera menyangkal dia memiliki kaitan dengan Islam. “Saya bukan seorang Muslim dan saya belum pernah menjadi Muslim. Saya tidak pernah sekolah di madrasah. Saya tidak diangkat sumpah dengan Alquran. Saya adalah seorang Kristiani,” ujar Obama.
Istrinya, Michelle,ikut-ikutan angkat suara. Ia menyatakan bahwa orang Republik mengipas-ngipaskan rumor yang keliru tentang hubungan personal suaminya dengan Islam.
Rupanya isu ‘Islam’ lebih menakutkan dari isu gender dan ras dalam pemilihan presiden di negara yang mengaku sangat demokratis dan tidak membedakan orang berdasarkan kepercayaan itu.
Setuju atau tidak, yang jelas, pemilihan presiden AS kali ini lebih menarik perhatian karena dua calon yang masing-masing mewakili dau komunitas yang belum pernah menginjakkan kaki di ruang Oval With House itu.