ONE CULTURE

ONE CULTURE
Photo by Unsplash.com

Mungkin tak seorang pun yang pernah hidup di tahun 70an membayangkan umat manusia memasuki fase kehidupan saat ini yang berbeda secara total dengan kehidupan saat itu ke belakang.

Tak ada yang mengira bahwa manusia menemukan dunia baru imaginal tapi memberikan pengaruh besar dalam kehidupan real. Ia bahkan menundukkan dunia real dan membuatnya imaginal.

Tarikan dunia imaginal virtual ini sangat kuat sehingga siapapun, apapun keyakinannya, konservatif atau liberal, tua dan muda, laki dan perempuan, kaya dan miskin eksodus dari dunia nyata yang kumuh ke dunia yang segala sesuatu by design sesuai selera.

Orang-orang di zaman sekarang masih mempertahankan agama, mazhab bahkan nasionalisme sebagai identitas. Padahal ia bukan lagi identitas yang imun. Pikiran, opini, kecenderungan, trend dan gaya hidupnya dikendalikan melalui algoritma dan prilakunya diintervensi oleh sejumlah korporasi data virtual dan pemilik platform medsos dari data-data yang diberikannya.

Identitas keyakinan dan kebangsaan tak mampu menahan gempuran tsunami budaya tanpa batas yang telah menjadikan warga bumi menganut satu budaya.

Orang-orang beragama yang saling berlawanan seperti tekstualis dan modenis tanpa sadar bersatu dalam satu gaya hidup, kecenderungan, pola komunikasi dan sebagainya. Digitalisme menggerus identitas.

Digitalisme menyatukan umat manusia di era microchip dalam satu budaya, selera, gaya hidup, pola komunikasi, kebiasaan dan sebagainya. Meski konflik politik dan keyakinan sering terjadi, para pelakunya bersatu dalam hegemoni budaya digital.

Seseorang bisa benci agama lain dan penganutnya karena doktrin takfirisme juga menggilai klub Eropa dan memuja pemainnya karena doktrin “one culture”.

Neokolonialisme mendorong demokratisasi dan liberalisasi sekaligus mendanai kelompok-kelompok ekstremis seraya mengikat mereka dengan mindset “one culture”.

Saling menjatuhkan dan berperang tapi sama-sama menggunakan sosmed untuk propaganda. Semuanya dengan atau tanpa sadar tunduk kepada kolonialisme media.
Seseorang bisa menggemari Game of Thrones dengan semua nilai-nilai yang dijungkirbalikkan di dalamnya sekaligus membenci sesama seagamanya yang berbeda aliran.

Digitalisme menciptakan alienasi manusia real hingga ia lebih memikirkan diri digitalnya ketimbang peran “bumi”-nya dalam keluarga dan lingkungan sosialnya.

Read more