Hanya pendosa bodoh yang sengaja memperlihatkan sisi buruk dalam dirinya.
Bila tak dihilangkan, malah dirawat dan disembunyikan di balik rupa dan raga karena diam-diam tak mengimani sistem nilai yang transenden atau menganggap moralitas sebagai ajaran absurd, atau bahkan memandang eskatologi sebagai delusi, sisi buruk itu akan menyeruak.
Karena tersimpan lama dalam relung kepalsuan, Ia tak menyeruak secara vulgar, seperti mendukung fitnah, tuduhan, cemooh dan manipulasi. Dia hanya menanti sebuah momentum untuk meluncurkan sisi buruk itu.
Saat menemukan fenomena sosial yang dapat dijadikan sebagai sampul justifikasi, ia muncul ke permukaan dalam lipatan retotika dan lipatan kata. Aroma busuk yang menyembur tetaplah tajam, sementereng apapun strata sosialnya.
Pada saatnya dia akan jujur mengaku sebagai pengiman anti kebaikan secara aktual saat mengulang narasi kebencian karena hatinya berbunga setiap kali membayangkan derita dan vonis kolektif ditimpakan atas mereka semua.
Supaya kebenciannya “dimaklumi”, karena tak rela dianggap relijius tapi rasis sesama sekeyakinan yang telah menerimanya sebagai pengikut atau bahkan tokoh, dia membuka narasinya dengan insiden kasuistik dan personal sebagai proposisi primer seolah klausa rasional.
Pendengki yang mengekspresikan kedengkian dalam narasi kebencian berbalut kritik dan studi ilmiah adalah orang “jujur.” Ia memaklumatkan kelelahannya menyimpan doktrin moral dan keyakinan yang terlanjur diterimanya.
Hanya pendosa bodoh yang sengaja memperlihatkan sisi buruk dalam dirinya.
Bila tak dihilangkan, malah dirawat dan disembunyikan di balik rupa dan raga karena diam-diam tak mengimani sistem nilai yang transenden atau menganggap moralitas sebagai ajaran absurd, atau bahkan memandang eskatologi sebagai delusi, sisi buruk itu akan menyeruak.
Karena tersimpan lama dalam relung kepalsuan, Ia tak menyeruak secara vulgar, seperti mendukung fitnah, tuduhan, cemooh dan manipulasi. Dia hanya menanti sebuah momentum untuk meluncurkan sisi buruk itu.
Saat menemukan fenomena sosial yang dapat dijadikan sebagai sampul justifikasi, ia muncul ke permukaan dalam lipatan retotika dan lipatan kata. Aroma busuk yang menyembur tetaplah tajam, sementereng apapun strata sosialnya.
Pada saatnya dia akan jujur mengaku sebagai pengiman anti kebaikan secara aktual saat mengulang narasi kebencian karena hatinya berbunga setiap kali membayangkan derita dan vonis kolektif ditimpakan atas mereka semua.
Supaya kebenciannya “dimaklumi”, karena tak rela dianggap relijius tapi rasis sesama sekeyakinan yang telah menerimanya sebagai pengikut atau bahkan tokoh, dia membuka narasinya dengan insiden kasuistik dan personal sebagai proposisi primer seolah klausa rasional.
Pendengki yang mengekspresikan kedengkian dalam narasi kebencian berbalut kritik dan studi ilmiah adalah orang “jujur.” Ia memaklumatkan kelelahannya menyimpan doktrin moral dan keyakinan yang terlanjur diterimanya.