OTORITAS NEGARA DAN OTORITAS AGAMA DALAM BANGSA MAJEMUK

Pemerintah dalam negara yang tidak berasas agama, apalagi salah satu agama, mestinya cukup mengayomi umat beragama dan memfasilitasi setiap kelompok penganutnya dalam melaksanakan ajarannya masing-masing, bukan menjadi pemegang otoritas agama.
Orang-orang yang diberi amanat melayani rakyat yang majemuk mestinya saat membuat kebijakakan dalam konteks negara yang berdiri di atas asas lintas agama mestinya menjaga jarak dengan keyakinan subjektifnya, apapun agamanya agar tidak terkesan seolah hanya melayani sekelompok warga sekeyakinan.
Mestinya negara melalui pemerintah mengurusi individu warga (rakyat) tanpa membedakan keyakinannya. Sedangkan agama melalui ormas keagamaan mengurusi umatnya masing-masing, bukan mengurusi detail persoalan agama dan menjadi rival ormas-ormas keagamaan yang telah membangun sturuktur otoritas keumatannya sendiri-sendiri.
Mestinya "mutualisme ulama - umara" tidak hanya menjadi jargon dan alat legitimasi politik tapi terejawantah dalam profesionalisme pemegang otoritas negara yang direpresentasi pemerintah dan kompetensi pemegang ororitas agama yang direpresentasi oleh ulama dalam setiap kelompok dan ormas keagamaan sesuai afiliasi kemazhaban masing-masing.
Bila batas otoritas kenegaraan dan otoritas keagamaan dipahami oleh masing-masing pemegangnya, mestinya tidak terjadi tumpang tindih dan kesimpangsiuran yang justru kontraproduktif.
Kurang elok rasanya bila Pemerintah sebagai institusi tertinggi dalam negara ikut berselisih pandangan dalam penetapan salah satu persoalan spesifik fikih dengan ormas-ormas keagamaan yang secara faktual menghimpun para ulama sevisinya sebagai rujukan masing-masing komunitasnya.