Skip to main content

Salah paham itu lumrah. Khususnya dalam momen komunikasi yang tidak singkron antara maksud pengujar dan maksud ujaran yang dipersepsi audiens. Kesenjangan maksud ini biasanya memunculkan kebutuhan pada klarifikasi.

Tujuannya tak lain demi antisipasi. Salah satunya, menghindari efek negatif yang lebih besar bahkan fatal. Sebab, dengan berakhirnya ketidakjelasan, tertutup pula potensi konflik yang mubazir dan destruktif.

Namun, kehidupan komunitas seolah dikutuk untuk selalu dirundung anomali. Di dalamnya bukan hanya “kesalahpahaman” yang lumrah terjadi. Tapi juga “penyalahpahaman” yang justru jadi musuh besar klarifikasi dan bertujuan untuk mendestruksi kehidupan bersama.

Salah satu modusnya dengan menyebarluaskan celoteh sinis yang dikesankan sebagai kritik. Tak tersirat adanya itikad baik, apalagi konstruktif. Bukan hanya diramu dan dicelotehkan sebagai anti klarifikasi, sinisme itu bahkan terbaca sebagai proyek bernama distorsi dan delegitimasi.

Namun, selain mendekonstruksi (membongkar) sinisme tersebut sejak dari modusnya, kiranya tetap diperlukan klarifikasi. Ini demi menyetop kasak-kusuk penyalahpahaman agar korban sesat paham tidak terus berjatuhan.

Sinisme itu (seolah) mempertanyakan: Mengapa kegiatan-kegiatan sosial perlu mencantumkan logo dan nama ormas? Tidakkah itu bertentangan dengan ketulusan dan keikhlasan?

Pertama:
Tak semua upaya mencantumkan nama pribadi, kelompok, atau ormas itu sebagai pamrih. Justru adakalanya nama seseorang, kelompok, atau organisasi memotivasi orang lain untuk ikut berpartisipasi. Atau sebagai jaminan kredibiltas suatu proyek atau kegiatan sosial.

Kedua:
Tak semua “pamrih” itu buruk. Kata pamrih sengaja diberi tanda petik. Sebab, boleh jadi apa yang dipersepsi subjektif sebagai pamrih, bukanlah pamrih dalam makna objektif. Salah satu ukurannya adalah motif dan tujuan. Selama yang dilakukan bukan didasari motif dan tujuan meraup keuntungan politik (dalam makna kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan) yang lazim dilakukan kawanan politisi dan organisasi politik atau kepentingan ekonomi oleh pengusaha atau perusahaan, maka itu belum tentu dikategorikan sebagai pamrih.

Ketiga:
Katakanlah suatu ormas dibenci lantaran menjadikan nama mulia dan agung sebagai nama dan simbol organisasinya. Justru pada momen ini setiap aksi sosial yang dilakukan ormas itu wajib mencantumkan nama dan simbol mulia nan agung itu. Selain sebagai bentuk syiar, tindakan ini juga bertujuan untuk membungkam mulut para pakar mendengki dan ahli memfitnah.

Keempat :
Kepentingan tidak niscaya buruk. Setiap orang dan kelompok tentu punya kepentingan. Begitu pula dengan ormas. Apalagi ormas keagamaan yang mengusung mazhab di luar mazhab arus utama lalu secara terbuka menjadikannya sebagai identitas, tentu sangat berkepentingan untuk mempertahankan eksistensinya hingga memberi perlindungan hukum kepada seluruh anggotanya yang rentan mengalami perlakuan negatif di tengah ortodoksi. Karenanya, ormas itu perlu menegaskan eksistensi, kehadiran, hingga manfaatnya bagi masyarakat luas dan negara melalui kontribusi dan aksi sosialnya yang kongkret.

Kelima :
Bila membawa nama sakral dianggap pamrih, untuk apa nama Allah, Islam, Nabi dan lainnya dipasang sebagai simbol dan logi institusi keagamaan seperti ormas, masjid, sekolah dan lainnya. Justru itulah yang dimaksud sebagai pengagungan syiar Allah.