PANUTAN ARTIFISIAL DAN UMAT DIGITAL
Penghormatan masyarakat relijius kepada orang alim dan saleh yang sebagian diyakini wali adalah bagian dari etika, karakter, tradisi dan budaya masyarakat relijius di manapun, tak hanya di sini, meski pola dan cara ekspresi penghormatan berbeda-beda. Tak ada yang salah dengan itu selama interaksi antara masyarakat dan para tokoh terhormat berjalan secara proporsional dan tulus.
Tapi di era digital marketing sekarang, peluang diproduksinya versi artifisial figur-figur yang dihormati massa atau umat terbuka lebar. Umat digital yang hanya berkerumun di balil akun dan influencer adalah produk kamera, lighting, sound, naskah narasi, gimick (pemanfaatan kemasan, tampilan, alat tiruan, kepalsuan dan kehebohan) dan semua yang diperlukan dalam perekaman outdoor dan indoor serta jadwal kerja tayang demi clikbait dan adsense dari aneka produk yang diendors maupun iklan yang sekonyong menjeda.
Sebutan ustad, habib, kyai, gus, buya dan semacamnya pun laris manis memarkkan lini massa. Umat digital mudah dijaring bahkan diciptakan dengan menyiasiati algoritma dan kejar tayang. Karena bukan alim orisinal dan hanya saleh buatan, uang dan ketenaran pun membuat sombong.
Dia dan sejenisnya adalah orang bodoh yang menjadi korban rekayasa komplotan penjilat yang berpura-pura menjadi pengikut paling setia demi mengambil keuntungan dari industri penyanjungan yang merampok nalar kritis massa.
Pada saatnya komplotan bisnis branding ini mencampakkan korban bahkan berbalik menyerangnya sembari berlagak hero yang ingin menyadarkan massa yang sekian lama menjadi mangsa modusnya. Jejak digital komplotan ini menjelaskan perilaku ini.
Karena dasarnya memang pandir dan terlanjur mengira penganjungan massa kepadanya karena keistimewaan dirinya atau statusnya juga merasa terlalu nyaman dengan perputaran omset, tokoh penyombong tak segera sadar diri sebagai korban penyanjungan abal-abal dan menganulir sikap sombongnya.