Skip to main content

Para Pemimpin Hamas (1) : Haniyah, Ahmadinejad Versi Arab

By January 15, 2009One Comment

haniyah

Namanya baru dikenal  ketika kelompoknya, Hamas, menjadi organisasi yang mengerek opsi perlawanan.  Namanya makin menjulang ketika Hamas, organiasi yang sangat muda,  menang dalam pemilihan legislatif Palestina, Januari 2006. Dia dekat dengan pemimpin spiritual Hamas, Syekh Yassin yang dibunuh oleh Israel. Hamas yang dipimpinnya menjadi pilihan rakyat Palestina yang bosan dengan opsi perundingan yang dipegang oleh Fatah namun tak pernah berhasil mengembalikan hak rakyat dan tanah Palestina, malah terus kehilangan. Dialah Ismail Haniyah.

Lelaki bertubuh tinggi tegap ini tidak seperti pemimpin Arab lainnya. Hingga kini ia menetap di rumahnya yang sederhana dan menuju masjid di kampungnya dengan jalan kaki. Ia bisa dianggap Ahmadinejad versi Palestina. Meski menjabat sebagai Pemimpin Hamas, banyak pengamat tidak menganggapnya sebagai figur sentral dan otak intelektual Hamas. 

Haniyah dikenal sebagai tokoh pragmatis yang lebih terbuka untuk berdialog dengan Israel. Namun dia menegaskan bahwa dialog damai dapat dilakukan bila Israel menerima hak-hak Palestina.

Haniyah lahir tahun 1962 di kamp pengungsian Shati di bagian barat kota Gaza. Dia belajar sastra Arab di Universitas Islam Gaza, tempat awal dia mengenal dan bergabung dengan gerakan Islam. Haniyah lulus tahun 1987 saat perlawanan terhadap Israel karena okupasi bergejolak.

Beberapa kali Israel menangkap Haniyah, dia pun sempat mendekam di penjara selama tiga tahun. Saat dibebaskan tahun 1992, Israel mendeportasi Haniyah bersama dengan seniornya, Rantissi dan Zahhar. Haniyah kembali ke Gaza Desember 1993 dan diangkat sebagai dekan Universitas Islam.

Setelah Israel membebaskan Yassin dari penjara pada 1997, Haniyah ditunjuk sebagai asisten. Hubungan dekat mereka membuat Haniyah menonjol dalam pergerakan dan dia menjadi wakil Palestina dalam Otoritas Palestina.

Dengan riwayat hidup demikian, datanglah ancaman dari Israel untuk membasmi pemimpin politik dan militer Hamas. Bersama Yassin, Haniyah sempat mengalami luka-luka akibat serangan udara Israel di sebuah apartemen di kota Gaza.

Bersama Mahmoud Zahhar dan Said al-Siyam, Haniyah bergabung dalam “kepemimpinan kolektif”. Walaupun Zahhar dianggap paling senior, tetapi Haniyah terpilih menjadi pemimpin kampanye Hamas untuk pemilihan umum 15 Januari lalu.

Pemimpin otoritas Palestina, Mahmoud Abbas, meminta Hamas untuk membentuk pemerintahan baru. Namun perundingan untuk mengusahakan koalisi dengan mantan partai yang berkuasa, Fatah, gagal.

Ketika Haniyah membeberkan program kerja pemerintahannya, Haniyah mendesak Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk tidak mengancam dengan menghentikan pembiayaan Otoritas Palestina kecuali Hamas melakukan kekerasan.

Haniyah menekankan bahwa Palestina akan terus berjuang meraih kemerdekaan, tetapi pada saat yang sama dia juga ingin mengadakan perundingan damai dengan bantuan mediator internasional.

“Pemerintah kami akan mengupayakan perdamaian di wilayah ini, mengakhiri pendudukan [Israel] dan mendapatkan kembali hak-hak kami,” kata Haniyah.

Tentang tawaran gencatan senjata di Gaza, Haniyah mengemukakan HAMAS akan menerima gencatan senjata dengan syarat-syarat yang “jelas dan sederhana”.

Syarat itu adalah pencabutan blokade terhadap Gaza, pembukaan perlintasan serta penarikan penuh pasukan Israel.

“Cuma ada satu jalan untuk maju dan tidak ada lainnya. Syarat-syarat kami bagi gencatan senjata baru adalah jelas dan sederhana,” tulisnya seperti dimuat harian Independent dan dikutip AFP.

“Israel harus menghentikan kejahatan perangnya dan menghentikan pembantaian terhadap rakyat kami, sepenuhnya mencabut tanpa syarat pengepungan ilegal terhadap Jalur Gaza, dan membuka semua perlintasan perbatasan kami serta mundur sepenuhnya dari Gaza.”

Haniya menulis, jika hal itu dipenuhi, pihaknya bersedia untuk mempertimbangkan berbagai hal lainnya.

Dia menolak pernyataan-pernyataan yang menyalahkan HAMAS sehubungan mereka telah menolak untuk memperpanjang enam bulan gencatan senjata dengan Israel.

Haniya mengatakan Israel telah membuat kehidupan di Jalur Gaza “seperti di neraka” lewat “pencekikan” ekonomi.

Menurut Haniya, warga Palestina “terperanjat karena para anggota Uni Eropa tidak memandang pengepungan yang sewenang-wenang tersebut sebagai bentuk agresi.”

Dia bersikukuh serangan Israel tersebut tidak akan berhasil.

“Pada akhirnya, bangsa Palestina adalah bangsa yang sedang berjuang demi terbebas dari pendudukan dan demi tercapainya suatu negara merdeka dengan Jerusalem sebagai ibukotanya serta pulangnya para pengungsi ke desa-desa tempat mereka pernah terusir.”

“Apapun pengorbanannya, pembantaian Israel yang terus menerus tidak akan menghancurkan keinginan kami untuk bebas dan merdeka.” (dari beberapa sumber)