Skip to main content

PARADOKS EKSTREMISME

By August 20, 2016No Comments

Setinggi apapun pendidikan orang yang dianggap minoritas di tengah masyarakat yang menganggap diskriminasi sebagai relijiusitas, tidak ada artinya.
Orang-orang yang terlanjur diekstremkan oleh hatespeech yang diselipkan dalam khotbah-khotbah dan tausiyah tiba-tiba mandul nalar dan empati.
Ekstremisme yang ditampilkan sebagai hakikat kesalehan menjungkirbalikkan nilai etika yang toleran pun enggan membuka diri, apalagi yang intoleran.
Derita minoritas bagi msyrkt intoleran atau apatis, bukan sesuatu yang penting diperjuangkan. Rintihan mereka tertelan hiruk isu-isu silih berganti.
Lihatlah kasus Sampang. Apa yang tersisa dalam memori kita? Bukan hanya tidak dituntaskan, justru tertimbun kebencian sektarian yang kian menggila. Baca Juga: Kesesatan Fatwa “SESAT”
Pesantren jadi ladang agamawan-agamawan intoleran. Masjid jadi sentra distribusi hatespeech. Even-even bertajuk agama jadi media mobilisasi massa jumud.
Sosial media jadi arena bebas lomba ketangkasan caci maki, manipulasi gambar-gambar dan video serta pengkafiran berbalut pembelaan agama.
Minoritas dipaksa mengaku merusak agama yang diklaim sebagai properti sekelompok. Membantah, dituding taqiyah. Bicara toleransi, dibilang liberal.
Pesantren harus jadi pusat pembibitan penghias agama. Masjd harus jadi rumah sejuk bagi setiap Muslim. Even-even agama harus jadi syiar Rahmatan lil Alamin. Baca Juga: “Agama Horor dan Mazhab Teror”
Pandangan-pandangan dan sikap-sikap Kyai Super bertaraf dunia, almarhum Gus Dur harus diduplikasi sebagai paradigma utama pesantren-pesantren supaya jadi benteng toleransi.