Skip to main content

Meski bahasa Indonesia merupakan elemen terkuat nasionalisme dan keindonesiaan karena bahasa Indonesia secara formal menjadi bahasa nasional dan formal telah menjadi bahasa sehari-hari, ternyata masih banyak kata yang digunakan secara salah dalam penulisan maupun dalam pengucapan bahkan di kalangan terdidik. Padahal jika penggunaannya salah, arti dari kata-kata itu bisa melenceng.

Salah satunya adalah ubah dan rubah. Banyak orang menemukan kata “merubah” atau “dirubah”. Kedua kata itu tidak tepat jika yang dimaksud adalah mengganti, menukar bentuk, atau mengatur kembali suatu benda atau hal.

Kata dasar yang benar adalah ubah, sehingga ketika diberi imbuhan men-, maka akan berubah menjadi “mengubah”, bukan “merubah”. Begitu juga dengan “dirubah”. Kata yang tepat harusnya “diubah”, karena kata dasarnya ubah bukan rubah.

Rubah merupakan nama hewan, sejenis srigala yang konon merupakan serapan dari bahasa Parsi, sedangkan ubah merupakan kata kerja yang berarti “tukar” atau ”ganti”.

Karena itulah, kata perubahan (per-ubah-an) yang diolah dari kata ubah dapat diartikan sebagai pergantian, penggantian, pemulihan, penukaran dan sebagainya. Perubahan (pe-rubah-an) yang diolah dari kata rubah bisa pula diartikan sebagai proses menjadi rubah. Makna kedua ini mungkin lebih relevan digunakan sebagai satire dalam dunia politik.

Dalam arena politik paling mutakhir perubahan-perubahan terjadi secara dramatis dan mengejutkan. PKB merasa dikhianati Gerinda. Demokrat merasa dikhianati Nasdem. Menunggu episode ketiga drama pengkhianatan di koalisi berikutnya.

Karena oportunity adalah prioritas dalam politik tanpa idealisme, maka kesepakatan apapun hanya berlaku bila setiap pihak merasa memperoleh oportunity. Bila tidak, membiarkannya adalah pengorbanan. Dalam pragmatisme, pengorbanan dan loyalitas tanpa keuntungan adalah stupiditas.

Dalam politik tanpa idealisme kesempatan adalah prioritas. Atas dasar itu, sejatinya dalam politik yang nyata berbasis pragmatisme kata pengkhianatan itu tak bernakna.

Karena karakteristik pragamatisme dan oportunisme itulah, setiap pemain mestinya sudah paham segala risiko permainan dan mengantisipasi semua kemungkinan tanpa baper.

Sikap PDIP terhadap keputusan PSI, Golkar dan PAN yang urung mengusung capresnya terlihat lebih elegan dan matang soal rule of the game.