Skip to main content

Masyarakat geger karena dikejutkan oleh sebuah kejahatan luar biasa. Ternyata beberapa bulan lalu pelakunya telah ditangkap dan berkasnya sudah dilimpahkan ke pengadilan.

Ada banyak spekulasi alasan, antara lain demi menjaga jiwa para korban juga demi meredam kemarahan publik. Ini yang dikemukakan pihak berwenang dan komisi perlindungan anak dan perempuan. Menutupinya dengan tujuan baik sambil tetap memprosesnya secara hukum bisa dimaklumi sebagaimana dikemukakan oleh Polda Jabar dan Komisi Perlindungan Anak dan Perempuan.

Tapi dari rekam jejak kiprah pelaku kejahatan seksual di asrama pendidikan agama ini terendus adanya pihak lain yang terganggu atau terancam bila kasus terekspos.

Ada pihak dengan modal atribut ulama melarang masyarakat mengungkap kejahatan super pengasuh pesantren itu karena larangan menyebarkan aib.

Ada pula pihak yang sudah nyata menjadikan kebencian kepada kelompok Islam tertentu sebagai nama formalnya dengan tujuan utama menimpakan kesengsaraan atas para penganutnya melalui sejumlah jelatanya menunggangi kasus ini dan mengaitkannya dengan aliran yang memang dibencinya.

Terlepas dari itu semua, menutupi kejahatan karena tendensi kekuasaan dan kepentingan adalah kejahatan. Mengaitkan kasus kejahatan dengan aliran yang tak dianut pelaku dan korbannya sama dengan menutupinya.

Setelah makan banyak bukti-bukti yang menginformasikan pelaku dan para korban serta pesantren itu tak berkaitan dengan aliran yang disesatkan itu, tak perlu lagi mengusut lebih dalam afiliasi keagamaannya, karena pada dasarnya kejahatan tak berkaitan dengan ormas, mazhab bahkan agama tapi berkaitan dengan subjek pelaku apapun keyakinan dan profesinya.

Media, penulis dan sejumlah akun di sejumlah media sosial yang karena keteledoran atau kesengajaan menyebarkan hoax dan fitnah terhadap kelompok mazhab tertentu sebaiknya menganulir dan menghindari penyelesaian hukum yang melelahkan. Membenci sebuah kelompok Muslim adalah buruk, tapi bila kekeh merawatnya, sebaiknya membenci tanpa fitnah.