Sebagian penganut Syiah yang malas mengupgrade pemahaman teologisnya menganggap imamah sebagai kepemimpinan agama pada masa lalu yang hanya terkait dengan beberapa figur suci yang pernah hadir di atas pentas sejarah masa lalu dan tak berlaku secara aktual dalam kehidupan kontemporer seolah memposisikannya sebagai doktrin yang cukup dikenang, diperdebatkan dan kadang diratapi. Mazhab dalam mindset ini seakan hanyalah kumpulan dogma, tata cara ibadah dan versi bacaan serta beberapa fragmen sejarah yang berbeda dengan lainnya.
Salah satu isu penting yang kerap disalahpahami oleh sebagian orang Syiah adalah Wilayah Faqih (kewenangsn “wakil Imam’) akibat kerancuan dan kedangkalan dalam pemahaman dan penyikapan terhadap marja’iyah (yang meniscayakan relasi taqlid) dan rahbari (yang meniscayakan relasi kepatuhan konstitusional sebagai lembaga kekuasaan tertinggi Republik Islam Iran). Sebagian kalangan internal Syiah menolak Wilayah Faqih dengan dalih kepatuhan hanyalah hak imam yang suci.
Kerancuan pemahaman sebagian kalangan internal Syiah tentang konsep imamah juga Wilayah Faqih, Marja’iyah dan Rahbari menjadi kendala utama konsolidasi internal Syiah. Padahal yang utama dari keterikatan dengan ajaran suci bukanlah membanggakan dan memamerkan identitas ajarannya melalui polemik dan demonstrasi simbol tapi membangun kesadaran tentang kewenangan dan kepatuhan serta mengejawantahkannya dalam pandangan, sikap dan perilaku dalam seluruh aspek kehidupan.
Kerancuam pemahaman yang diakibatkan oleh dinomerduakannya logika dan pengutamaan klam-klaim pemutlakan sebagai pengaruh sisa dari wahabisme yang tidak hilang secara tuntas. Padahal kejumudan, eksklusivisme dan intoleransi (syiah takfiri) disadari atau tidak disadari ‘membantu” secara tidak langsung agenda pihak-pihak yang bekerja sebagai agen-agen pemecah belah.