Pada 10 Februari 2009, Israel melangsungkan pemilihan bagi 120 kursi anggota Knesset (parlemen Israel). Knesset dipilih dalam sebuah pemilu nasional yang diadakan setiap empat tahun.
Setiap warga negara Israel berusia 18 tahun atau lebih berhak untuk memilih, termasuk warga Arab-Israel yang mencapai 20% dari total penduduk Israel. Warga Arab ini juga dapat menjadi anggota parlemen tetapi tidak diberi hak untuk memerintah atau mempengaruhi kebijakan.
Kursi-kursi di Knesset di alokasikan secara proporsional kepada setiap partai yang memperoleh sejumlah suara dari keseluruhan suara yang sah. Israel menerapkan semacam ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang harus dipenuhi untuk mendapatkan kursi di Knesset.
Anggota-anggota parlemen dari partai-partai Arab tidak memiliki wewenang pengambilan keputusan. Mereka dibatasi oleh Undang-Undang Partai Politik tahun 1992 dan Hukum Dasar (Basic Law) Israel yang mengharuskan setiap kandidat untuk mengakui bahwa Negara Israel adalah negara eksklusif untuk bangsa Yahudi.
Menurut Stephen Lendman, analis dari Center for Research on Globalization, Di bawah undang-undang tersebut, tidak ada kandidat yang dapat menggugat karakter fundamental eksklusivitas Yahudi di Israel atau menuntut sebuah kesetaraan hak dan keadilan. Identitas dasar Zionis dalam lanskap politik Israel tidak dapat diganggu gugat. “Undang-undang itu hanya melayani Yahudi.
Warga Arab-Israel tidak memiliki hak. Mereka tidak diperlakukan secara setara dan adil, meskipun mereka terpilih untuk menjadi pejabat publik. Israel menyebut ini demokrasi sementara Afrika Selatan menyebutnya apartheid dan Nazi Jerman menyebutnya fasisme.” ( Stephen Lendman, “Fascist Rule in Israel”, Palestine Chronicle, 21/02/2009).
Pada 12 Januari 2009, Komisi Pemilu Pusat Israel melarang dua partai Arab untuk berpartisipasi dalam Pemilu 2009 dengan tuduhan menyebarkan hasutan, mendukung kelompok-kelompok “teroris” (baca: perlawanan) Palestina, dan menolak keberadaan Israel. Dua partai nasionalis sayap kanan Israel, Yisrael Beiteinu dan Persatuan Nasional, mengajukan tuntutan itu kepada komisi pemilu.
Tuduhan itu palsu dan penuh kebencian. Pada 21 Januari 2009, Mahkamah Agung Israel secara bulat mengembalikan hak-hak kedua partai Arab tersebut setelah para politisi Arab mengajukan banding. Bagaimanapun, apa yang terjadi menunjukkan apa yang warga Arab-Israel hadapi di sebuah negara yang mengistimewakan warga Yahudi di atas warga-warga lainnya. Israel adalah negara Yahudi. Yang lain orang luar, tidak diharapkan, dimarginalkan tanpa hak-hak yang penuh, dan secara kriminal kerap diperlakukan diskriminatif dengan persetujuan pemerintahnya.
Apakah Israel satu-satunya negara demokrasi di Timur Tengah? Berikut fakta-fakta yang menegasikannya:
- Sekitar 1,5 juta warga Arab-Israel hidup dalam komunitas-komunitas (baca: ghetto) padat penduduk yang terpisah-pisah, tak terjamah pembangunan dengan angka pengangguran yang tinggi, serta kekurangan layanan publik yang mendasar, seperti akses jalan, sanitasi, listrik, dan sekolah.
- 95% dari wilayah Israel (yang dulunya sebagian besar adalah milik para pengungsi Palestina) hanya diperuntukkan bagi orang Yahudi.
- Minoritas warga Arab Israel yang merupakan seperempat penduduk Israel dibatasi pada 3% dari wilayah Israel.
- Kewarganegaraan Israel terbuka bagi imigran Yahudi dari seluruh negara di dunia, sementara pengungsi Palestina yang lahir di negeri itu dan terusir, baik yang Muslim maupun Kristen, tidak bisa mendapatkan kewarganegaraan Israel. Tentu saja, kecuali jika mereka terlebih dahulu menganut Judaisme.
- Hukum-hukum yang mengatur warga Arab Israel dibedakan dari hukum-hukum yang mengatur warga Yahudi.
- Di wilayah pendudukan Tepi Barat, terdapat “jalan-jalan khusus Yahudi” dan “jalan-jalan khusus non-Yahudi”.
- Israel mengeluarkan KTP dimana agama si pemegang KTP dicetak dalam tinta tebal.
- Di wilayah pendudukan Tepi Barat, plat mobil milik penduduk Arab berbeda dengan yang dimiliki para pemukim ilegal Yahudi.
- Lebih daripada itu, sebuah negara tidak bisa disebut demokrasi sementara pada saat yang sama dia adalah rezim pendudukan di suatu wilayah. (irman dan pedar basil)