'Pendatang Makruh'
Mungkin hanya kebetulan. Hampir semua teman saya yang pernah berkunjung atau singgah di negara jiran itu membawa oleh-oleh kesan negatif. Biasanya bermula dari pengalaman pertama memasuki pintu imigrasi.
Sebelum memasukinya, Anda harus menikmati sebuah view menjemukan, yaitu wajah petugas yang sengaja dipasang angkuh dan angker.
Berikutnya sejumlah pertanyaan (dengan ejaan non EYD, tentunya) akan memberondong Anda:
“Dari Indonesia ke?”
Tidak disarankan menimpalinya dengan “Sudah tahu, koq nanya…”
“Awak, bawa return ticket ta?”
“You na’ kerja disini ya?”
“Apa pasal?”
“Berapa uang awak bawa?”
“Berapa hari nak tinggal ka' Malaysia?”
“Bawa rokok kretek ta?” Ini sebuah pertanyaan yang bisa dianggap sebagai pertanda baik, semacam apologi yang ditampilkan layaknya orang sok akrab. Anda bisa diamsukkan dalam kategori ‘pendatang makruh’
Bila jawaban-jawaban Anda dianggap kurang meyakinkan, maka Anda akan digelandang ke kantor. Di situ Anda diinterogasi secara bergantian oleh wan-wan yang berseragam dan, tentu saja, tas bawaan Anda juga dibongkar seenaknya. Bila keberuntungan belum berpihak, Anda hanya perlu duduk tenang untuk menunggu pesawat yang mendeportasi Anda. Pada situasi demikian, menunjukkan semangat kerserumpunan tidak akan berguna. So, welcome to Truly Asing!
Pada masa pemerintahan Soekarno, hubungan kedua negara satu rumpun ini pernah terguncang, bahkan mencapai klimaks, ketika Soekarno memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia. Parahnya, hubungan Indonesia-Malaysia pada 1960-an itu bisa dilihat dari sejumlah slogan politik yang marak saat itu. “Ganyang Malaysia” menjadi suatu kalimat yang populer pada masa itu.
Indonesia saat itu melihat Malaysia sebagai antek kolonialisme, yang mendukung penjajahan di atas muka bumi. Politik luar negeri Indonesia saat itu memang lebih pro-Timur, yang cenderung membenci segala hal yang berbau Barat. Karena kolonialisme adalah produk Barat, maka Indonesia pun menunjukkan ketidaksukaannya ketika Malaysia memilih bergabung dengan Inggris. Sampai saat ini pun, Malaysia, Singapura, dan sejumlah negara lainnya, merupakan anggota Negara-negara Persemakmuran.
Untunglah, perseteruan antara saudara serumpun itu pulih kembali setelah Soeharto menjadi Presiden.
Saat rezim Soeharto berkuasa, Malaysia sangat respek terhadap Indonesia karena negeri ini dikenal negara yang besar, baik dalam pembangunan ekonomi, politik, maupun dalam kekuatan pertahanan. Malaysia dan Singapura keder. Dulu Malasyia juga sering mengirim warganya belajar apa saja dari sukses Indonesia.
Namun sekarang keadaan berbalik 180 derajat. Hubungan kakak beradik ini sering tegang. Ada dua faktor penyebab ketegangan itu. Pertama, kegemaran klaim wilayah Indonesia, seperti Blok Ambalat di Laut Sulawesi. Kedua, kemajuan pesat ekonomi Malaysia yang mengakibatkan munculnya arogansi. Malaysia memandang rendah Indonesia. Akhir-akhir ini TKI ilegal ke negeri itu sangat banyak jumlahnya sehingga dianggap membuat masalah. Akhirnya warga Malaysia menganggap warga Indonesia yang sangat banyak di sana sebagai ‘kelas babu’. Warga Malaysia menganggap Indonesia tak mampu lagi memberi makan warganya sehingga mereka harus hijrah ke negeri orang. Lebih ironis lagi, proses migrasi itu tanpa bisa dikelola dengan baik sehingga jumlah TKI illegal sama dengan TKI legal atau bahkan lebih banyak. Ini masalah yang membuat citra Indonesia hancur di mata negara tetangga.
Di tengah maraknya penganiayaan terhadap TKI di Malaysia, kita dikejutkan oleh brutalisme aparat Malaysia yang melakukan pengeroyokan terhadap wasit karate Indonesia hingga terluka parah. Aksi itu tentu saja menyulut kemarahan rakyat Indonesia.
Kemajuan dalam bidang keduniaan belum tentu membuahkan kebebasan, kecerdasan dan kemandirian. Rakyat Indonesia lebih cerdas menangkap substansi agama ketimbang menguung formalisme agama, tapi sarat arogansi.
Syukurlah, meski agak terlambat, Pemerintah Malaysia telah mengucapkan permohonan maaf kepada Indonesia. Semoga di usia 50 tahun, Malaysia, pemimpin dan rakyatnya, lebih rendah hati sehingga layak menyandang predikat ‘Truly Asia’.
“Jangan perlakukan orang dengan cara yang Anda sendiri tidak rela diperlakukan begitu,” kata Imam Jakfar Shadiq. ( www.adilnews.com)