PENDIRIAN MUSEUM YANG DIPAKSAKAN

PENDIRIAN MUSEUM YANG DIPAKSAKAN
Photo by Unsplash.com

Sebelum disalahpahami dan dituduh anti agama dan ras Yahudi, atau keburu di-kadrun-kan tulisan singkat ini menetapkan pandangan dan sikap awal sebagai berikut:

  1. Terlahir sebagai Yahudi, Arab atau etnis dan suku apapun bukanlah pilihan dan tak patut dibenci. Karenanya, kebencian rasial dan etnis tidak selaras dengan rasionalitas dan norma kemanusiaan.
  2. Menganut Yahudi sebagai agama adalah hak setiap individu. Karenanya, kebencian sektarian terhadap agama apapun dan aliran apapun dalam sebuah bertentangan dengan toleransi.
  3. Pembantaian atau pembunuhan beberapa warga etnis Yahudi adalah tragedi yang tidak manusiawi. Ini adalah sikap moral lintas etnis keyakinan dan tidak rerkait pula dengan politik.

Yang paling patut mengenangnya dan mengunjungi museum untuk introspeksi dan evaluasi adalah masyarakat Barat, terutama Jerman, bukan masyarakat yang tidak punya ikatan khusus dari aspek apapun dengan tragedi itu juga korban dan pelakunya.

Masyarakat yang paling berhak mengenangnya adalah yang prosentase etnis Yahudi di dalamnya signifikan, bukan masyarakat nun jauh disana yang dari total populasi 280 juta warganya hanya 200 (bukan 200.000) penganut agama Yahudi. Meski demikian, tragedi itu tak terkait secara teologis dengan agama Yahudi.

Tempat yang paling tepat untuk pendirian museum tragedi pembantaian itu adalah Eropa, terutama Jerman, bukan negara di ujung benua Asia yang berjarak ribuan kilo dari TKP.

Karenanya patut dicurigai bila museum tragedi itu didirikan di

  1. Negara yang tidak terkait secara historis dengan tragedi itu.
  2. Negara yang tidak terkait secara georafis dengan tragedi itu.
  3. Negara yang tidak terkait secara etnologis dengan tragedi itu.
  4. Negara yang tidak terkait secara kultural dan emosional dengan tragedi itu.
  5. Negara yang tak satupun warganya terlibat dalam tragedi itu.
  6. Negara yang tak satupun warganya menjadi korban dalam tragedi itu.
  7. Negara yang rakyatnya tak memikul beban moral yang lebih besar dari rakyat Jerman dan juga tidak memikul beban yang sama rakyat negara-negara Eropa lainnya terkait tragedi itu.

Beberapa tragedi kemanusiaan di negeri ini lebih realistiis dan relevan untuk dikenang dan dimuseimkan sebagai bahan renungan dan introspeksi oleh bangsa ini seperti tragedi Mei, bom Bali dan lainnya. Bila dikaitkan dengan besarnya jumlah korban dan kekejian dalam, memuseumkan tragedi perampasan tanah yang di dalamnya terdapat masjid Aqsa lebih masuk akal.

Andai tragedi itu tidak dijadikan dasar pembenaran perampasan, pengusiran, pembantaian dan penjajahan di tanah yang berjarak sangat jauh dari tempat tragedi itu, mungkin pendirian museum itu di negara ini bisa dicarikan pembenarannya.

Andaii tragedi itu dibesar-besarkan seolah kejahatan terbesar dalam sejarah dan jumlah korbannya tidak ditambahkan dengan bilangan tak nyata, mungkin pendirian museum itu di negara ini bisa dicarikan pembenarannya.

Andai tragedi itu tidak dipolitisasi sebagai upaya mengakrabkan bangsa penentang penjajahan ini dengan rezim perampas Jerussalem, mungkin pendirian museum itu di negara ini bisa dicarikan pembenarannya.

Menentang pendirian museum itu tak berarti intoleran terhadap agama dan etnis Yahudi. Bila menyetujuinya dianggap sikap toleran, ada puluhan tragedi besar di dunia dengan jumlah korban yang lebih banyak lebih patut dikenang dan diabadikan berupa museum.

Tragedi itu dan pendirian mesuem demi mengenangnya tak berkaitan sama sekali dengan agama. Karenanya, alasan toleransi antar agama sebagai pembenaran dan sikap menyetujui pendiriannya tidak relevan dan terasa dipaksakan.

Read more