Sangat tak adil bila mayoritas media resmi juga copasan, pengamat asli juga dadakan, pengacara profesional juga amatir, figur publik juga banyak nitezen seolah menjadi jaksa bersama sekaligus hakim berjamaah memvonis tersangka, bahkan menghubungkannya dengan aneka tuduhan, dugaan dan spekulasi liar di luar kasusnya saat ini seolah tak secuilpun sisi manusiawi yang tersisa dalam dirinya dan seakan selainnya tak pernah dan tak akan melakukan kesalahan. Agaknya, latah nyinyir massal akibat sindrom FOMO (fear of missing out) telah menjadikan medsos sebagai pengadilan.
Bila sudah ditimpa dengan vonis bersalah dengan aneka tuduhan, lalu apa arti penyelidikan, penyidikan dan semua proses hukum? Bila setiap orang merasa berhak mengekspose kehidupan pribadi juga keluarganya, terutama anaknya, bahkan yang tak berkaitan dengan kasus yang menjeratnya, apa yang tersisa dari asas praduga tak bersalah?
Apapun tuduhannya dan seburuk apapun perbuatannya, tersangka adalah sebuah manusia. Dia adalah kombinasi raga dan jiwa dengan rasio dan emosinya serta semua pengalaman hidupnya.
Selainnya di luar sel adalah manusia seperti dia yang juga pernah bahkan akan melajukan perbuatan buruk dan berlumuran dosa meski beruntung karena tak jadi tersangka dan sorotan publik. Para perampok harta rakyat kecil, penjajah sebangsa dengan kedok agama, pemerkosa santri, penindas pasangan, penelantar anak, perusak rumahtangga, penyebar intoleransi dan pembuat narasi rasisme (demi mengamankan kans politik boher) dengan korban yang lebih banyak leluasa gentayangan.
Kemerdekaan negara dan wibawa bangsa diukur dari penegakan hukum tanpa tebang pilih akibat tekanan publik pemarah dan hiruk pikuk pesta dangdut merayakam kemerdekaan hingga pagi.
Lembaga yudikatif sebagai elemen fundamemtal negara modern didirikan justru demi menghindari pengadilan palsu, zalim dan liar di luarnya. Bila institusi hukum juga tak dipercaya sama sekali, akibat pengalaman-pengalaman negatif dalam urusan yang ditangani polisi hingga memastikan tak ada lagi manusia yang manusiawi dalam institusinya, .maka apapun hasil inbestigasinya tak akan dipercaya. inilah antiklimaks kemerdekaan. Tragis!
“Silakan membenci orang yang menurutmu pantas kau benci tapi sisakan sedikit cinta,” kata bijakawan nomer wahid, Ali bin Abi Talib. “Tetaplah adil bahkan terhadap pembenci” adalah makna implisit di balik ucapan hikmah menantu Nabi teragung itu.