PENGHINA SALIB DAN TEBANG PILIH DALAM BERTOLERANSI

PENGHINA SALIB DAN TEBANG PILIH DALAM BERTOLERANSI
Photo by Unsplash.com

Setiap saat selalu agamawan penyebar kebencian terhadap agama minoritas dan aliran kecil di hadapan publik mayoritas yang terus menerus diasupi dengan teks-teks perintah agresi dan diiming-imingi pahala melakukan persekusi berlabel jihad dan amar makruf - nahi munkar.

Celoteh sotoy tentang salib dari liang mulut seorang agamawan pujaan banyak umat bukanlah kasus baru. Ia hanya satu dari banyak penganut doktrin intoleransi yang secara temurun telah disemai dan diajarkan dari masa ke masa.

Permohonan maaf hanya relevan dalam pelanggaran etik yang personal. Kebencian terhadap agama lain dan mazhab lain bukanlah masalah personal yang bisa hilang selamanya dengan sebuah pernyataan permohonan maaf.

Pelontar ucapan penghinaan terhadap keyakinan lain hanyalah satu dari sekian banyak produk doktrin irrasional agama yang telah diberi perisai justifikasi teks-teks dan kutipan para pendahulu hingga dianggap final dan mutlak.

Pernyataan agamawan terkemuka"Khilafah adalah islami tapi mengancam NKRI" dapat dijadikan tolok ukur dan indikator mengakarnya doktrin yang berensensi penafian hak dan eksistensi penganut keyakinan lain.

Mayoritas senyap yang menjunjung tinggi logika beragama dan logika bernegara hanya mengecam agamawan penyebar kebencian di sosmed. Penyelenggara negara hanya mengulang-ulang himbauan. Agamawan yang toleran hanya bereaksi dengan memberikan pernyataan bantahan.

Penentangnya mungkin banyak tapi bisa dipastikan pemujanya lebih banyak, karena pernyataannya selaras dengan doktrin intoleransi yang telah merasuki publik dan umat melalui indoktrinasi masif sejak umat ini terbentuk.

Anehnya, kehebohan sebagai akibat dari pernyataan negatif terhadap agama yang dianut minoritas tak sama dengan dampak dari ujaran kebencian, intimidasi, persekusi, pengusiran dan agresi terhadap aliran minoritas dalam intra agama. Di negara berasas Pancasila ini sebuah sindikat berkedok organisasi yang secara resmi didirikan dengan tujuan menghujat, memfitnah dan mengganggu sekeompok warga minoritas aliran dibiarkan bahkan diperlakukan sebagaimana lazimnya ornas dan perkumpulan. Padahal tebang pilih dalam toleransi adalah intoleransi.

Kebencian yang bersumber dari doktrin teologi yang disisipkan dalam literatur pendidikan agama tak bisa dihilangkan hanya dengan pernyataan tokoh agama toleran tentang pentingnya saling menghormati atau himbauan bertoleransi dari pejabat negara untuk menerima kebhinnekaam. Ia hanya bisa dirontokkan dengan konsep tandingan yang kuat.

Tanpa konsep logis dalam beragama dan bernegara yang dirumuskan sebagai pembasmi teologi kebencian dan intoleransi, bisa dipastikan setiap saat kita akan sibuk menghebohkan ujaran kebencian yang meluncur dari mulut agamawan.

Pertanyaan pentingnya, siapkah umat ini membuang sebagian doktrin intoleransi dan ajaran agresi dari khazanah pemahaman keagamaannya yang terlanjur dianggap paling benar? Ini tak perlu dijawab oleh komedian berbaju koko yang memang dicetak sebagai agamawan intoleran tapi kita semua yang mulai khawatir tak tertarik kepada agama karena jumlah penganut intolerannya terlihat lebih banyak.

Read more