PERBUATAN BAIK ATEIS

PERBUATAN BAIK ATEIS
Photo by Unsplash.com

PERBUATAN BAIK ATEIS

Suatu hari secara kebetulan saya bertemu teman lama di sebuah café. Wow! Saya sedikit terkejut karena ia sedang berbincang akrab dengan seorang cewek bule. Meski semula merasa canggung, akhirnya kami bertiga terlibat dalam diskusi yang menyenangkan. Rencana untuk menonton Pirates of Caribbean pun kandas.

Saya bertanya tentang alasan dan motivasinya menjadi relawan kemanusiaan. “Membantu sesama manusia sungguh menyenangkan,” jawabnya ringan. “Menyenangkan Anda? Mengapa?” tanyaku. Wanita muda pemegang paspor Swiss itu menyemburkan asap rokok mentol dari sela bibrnya yang ritmis. Setelah kutanya lagi apa alasan persisnya, dia menjawab, “Karena saya tersiksa melihat derita orang.”

[ads1]

Selanjutnya, dia bercerita tentang pengalamannya menjadi relawan di beberapa negara Afrika, seperti Rwanda, Burundi , dan Sierra Leone. Yang mengejutkan saya adalah pengakuannya bahwa ia tidak beragama.

Mungkinkah seseorang membantu orang lain tanpa pamrih tidak demi dan karena keyakinan spiritual atau keagamaan? Cukupkah kemanusiaan menjadi alasan seseorang untuk membantu sesama manusia? Apakah semua tindakan membantu orang lain didasarkan atas tujuan berbuat baik untuk orang lain? Apakah seseorang, ketika berada dalam mobil berudara sejuk, yang memberikan uang receh (setelah memilih jumlah terkecil dalam tumpukan uang di dompet atau dashboard) kepada gadis kecil berpakaian lusuh di perempatan jalan yang panas membakar, bisa dianggap telah membantu orang lain? Apakah seseorang yang menjatuhkan selembar uang seribu rupiah ke arah lelaki cacat yang duduk dengan wajah menengadah di pinggir trotoar bisa dianggap sebagai penolong orang lain? Siapa sebenarnya yang dibantunya? Orang lain ataukah dirinya sendiri?

Ada dua sumber motivasi menolong orang lain, yaitu diri sendiri dan Tuhan. Orang dalam mobil yang melemparkan receh di perempatan jalan ke arah bocah lusuh itu tidak sedang menolong orang lain. Pria yang memberikan selembar uang kepada orang yang kehilangan dua kakinya itu justru sedang menolong dirinya sendiri. Bila bukan karena keyakinan dan cinta kepada Tuhannya, hakikatnya para relawan kemanusiaan itu menolong orang lain karena cinta akan jiwanya sendiri. Singkatnya, hanya ada dua manusia penolong, yaitu yang menolong orang lain karena keyakinannya kepada Tuhan sebagai sumber motivasinya, dan yang menolong orang lain karena keyakinannya kepada dirinya sebagai sumber motivasinya. Ia tinggal memilih; menyembah Tuhan atau menyembah diri sendiri. Demi Tuhannya, penolong dan pejuang rela sabungkan nyawa menerjang musuh. Demi cinta akan diri yang disembahnya, ia berani berbuat apa saja.

Lalu, adakah manusia yang tidak menyembah salah satu dari sumber motivasi itu? Tentu ada. Penjahat dan pelaku tindakan destruktif, tidak menyembah Tuhan dan juga tidak mencintai dirinya, namun menyembah setan, sumber kegelapan yang terlihat benderang di pelupuk mata hatinya yang rabun. Perbuatan buruk mereka telah dihiasi sehingga ia melihatnya baik. (al-Quran).

[ads1]

Sebagian besar tindakan membantu orang lain didasarkan atas tujuan menyelamatkan diri sendiri dari derita rasa bersalah (guilty feeling). Bagi sebagian orang yang tidak percaya akan Tuhan dan hari akhir, menolong orang lain yang sedang dirundung sengsara hanyalah sarana melepaskan diri dari derita itu.

Tapi bagi sebagian orang, tajamnya mata Allah yang mampu menembus dinding sekokoh Tembok Cina adalah alasan untuk berbuat baik dan menolong orang lain. Dengan bekal keyakinan ini, ia tidak merasa perlu menyayangi diri, malah sebaliknya mengganggap dirinya sebagai laron terbakar ditempa cahaya Tuhannya sebagai puncak kesempurnaan. Ketika Cahaya itu meminta harta, waktu, pikiran, perasaan, darah, nama baik, reputasi, dan nyawanya, ia tidak minta waktu untuk ‘pikir-pikir’ atau mengadakan rapat konsultasi. Ia segera lari, karena ia tahu Tuhannya berseru, Maka larilah kepada Allah. (al-Quran)

Hakim pengadilan ini adalah Zat Yang Maha Mengetahui, Mahakaya, dan Mahaadil. Bukti-bukti pengadilan ini adalah perbuatan-perbuatan manusia itu sendiri yang hadir dalam wujud yang sebenarnya.

Begitu dahsyatnya pengaruh dan kolosalnya sidang di Akhirat itu. Saksi-saksinya adalah anggota tubuh pelaku kejahatan dan tempat ia melakukan kejahatan tersebut. Keputusan pengadilan ini tidak lain adalah visualisasi dari perbuatan manusia yang akan menjadi saksi pemberat. Tidak ada jaksa yang bisa disuap. Tidak mafia peradilan yang bisa jual-beli vonis. Tidak pengacara yang bisa bersilat lidah mencari celah hukum. Tidak ada telepon dari atasan yang dapat meringankan vonis. Di ruang itu, manusia pesakitan akan menjadi pusat perhatian sederet panitera dan notulen yang terdiri atas para malaikat kelas VIP, para nabi, dan jiwa-jiwa suci. Sebelum pengadilan itu digelar, para pengunjung akan ‘dihibur’ dengan layar tancap raksasa yang memperlihatklan seluruh sepak terjangnya di dunia, dan ini cukup menjadi motivasi untuk menolong orang lain yang sedang kesulitan, bukan karena dirinya semata.

[ads1]

“Demi Allah, saya lebih suka melewatkan malam tanpa kantuk dan terbaring di atas duri-duri sa’dan (semacam kaktus) atau digiring bagai narapidana yang terbelenggu ketimbang menghadap Allah dan Rasul kelak di Hari Pengadilan sebagai pelaku kejahatan terhadap seorang hamba Allah atau sebagai pengambil hak seseorang,” kata Ali bin Abi Thalib

Read more