Skip to main content

Perempuan bisa dilihat dari 3 perspektif dimensi:

  1. Dimensi fisik
  2. Dimensi jiwa
  3. Dimensi gender/sosial

Tanpa melihat dari 3 sudut ini, kita tidak akan mampu memberikan gambaran yang komprehensif tentang perempuan.
Secara fisik perempuan berposisi sebagai penerima, yang berpasangan dengan lelaki sebagai pemberi. Dan secara biologis perempuan sebagai penerima sprema dengan ovum, sedangkan laki berposisi sebagai pemberi sperma pada perempuan.

  1. Karena itulah hubungan seksual sesame perempuan menjadi absurd, karena tidak disebut penerima bila tak ada pemberi, dan begitu juga sebaliknya. dalam kenyataanya, fenomena homoseksualitas antara sesame pria mau pun antara sesame perempuan yang lazim disebut lesbian, dalam prakteknya tetap menggunakan, salah satu pihak berposisi sebagai pemberi dan pihak lain sebagai penerima.
  2. Kemudian secara jiwa, tentang jiwa, atau secara kejiwaan, perempuan dan laki memiliki satu jiwa yang sama. Dengan kata lain, tidak ada jiwa perempuan dan tidak ada pula jiwa laki. Karena pertama, jiwa itu bersifat abstrak, dan kedua, keperempuanan dan kelakian itu hanya merupakan sebuah perilaku yang merupakan ekspresi dari gerak raga yang dikendalikan oleh jiwa. Itu bukan bagian dari jiwa itu sendiri. Sifat lembut dan sikap tegas itu ada pada, itu merupakan karakter yang ada pada laki dan juga ada pada perempuan. Namun, ekspresinya berbeda-beda. Sesuai dengan konstruksi fisik, hormone, dan tentu saja karena aspek sosial. Jadi bila dikatakan ada jiwa kepermpuanan itu sebetulnya ada pada laki dan perempuan, disebutk sifat perempuan itu adalah kata lain dari jiwa lembut, tapi salah kaprah disebut itu jiwa keperempuanan. Jika itu jiwa keperempuanan, kenyataannya laki memilikinya. Jadi itu bukan khas karakter jiwa perempuan secara khusus. Begitu juga ketegasan juga bukan karakter khas, bukan sifat khusus jiwa laki-laki.
  3. Secara sosial, perempuan dan laki memiliki posisi yang berbeda sebagai konsekuensi dari konstruksi fisiknya. Domain sosial itu berada di bawah hukum, baik hukum agama mau pun hukum positif. Atau norma-norma seperti tradisi dan budaya, dlsb. Perbedaan fisik itulah yang seringkali menjadi alasan perbedaan perlakuan dalam hubungan dan interaksi sosial. Meski tidak selalu adil dan benar.

Karena itu, kalau kita lihat dalam hukum agama, dalam hukum waris dalam agama, perempuan mendapatkan ½ dari laki. Karena, secara fisik, perempuan yang berposisi sebagai penerima itu mendapatkan hak-haknya dari pemberi, yaitu laki. Agama dalam hal ini adalah agama dalam konteks yang ideal, bukan dalam konteks faktualnya, yang telah terjadi. Mengapa demikian? Ketika, setiap laki menyadari posisinya, tahu tanggungjawabnya, dan melaksanakan fungsinya sebagai pasangan yang berposisi sebagai pemberi, maka, ia menanggung beban yang lebih berat dan memberikan jaminan-jaminannya, jaminan perlindungan, jaminan kasih-sayang, dsb kepada perempuan. Itu artinya, perempuan selian mendapat waris setengah, tercover oleh biaya yang diberikan laki yang menjadi pasangannya.
Namun, kenyataannya itu tidak berlaku. Dan tidak sedikit orang yang salah memahamai seakan-akan agama mengkonfirmasi fakta yang tidak benar itu. Justru ayat itu menegaskan kewajiban laki untuk menjamin biaya hidup perempuan yang menjadi pasangannya. Mestinya terfahami ketika seorang perempuan tidak mendapatkan hak perlindungan, biaya hidup, dlsb, ia tidak mendapatkan setengah.
Tentu ini merupakan isu sebuah wacana yang tidak bisa diputuskan begitu saja tanpa menghadirkan orang-orang ahli dalam hukum agama. Namun setidaknya itu bisa menjadi bahan untuk dikembangkan dan dieksplorasi lebih jauh dalam melihat hukum waris.
Dalam posisi sosial kita dapat membagi perempuan dalam beberapa fungsi, fungsi pertama sebagai:
IBU
Yang perlu diperhatikan adalah ibu adalah fungsi sosial yang berbeda dengan induk. Ibu mengacu pada fungsi kemanusiaan, sedangkan induk mengacu pada fungsi kehewanan. Induk beraktifitas dan bergerak dengan insting dan naluri dala aktifitasnya, seperti reproduksi/berkembang-biak, menjaga keturunan dengan semua tanggungjawabnya, member makan, dlsb.
Menjaganya untuk tetap hidup. Bahkan utnuk melaksanakan fungsi instingtif ini, naluriah ini, ibu dalam situasi tertentu tergerak untuk mengorbankan dirinya. Karena nalurinya mendorongnya untuk melakukan itu dengan pemahaman bawah sadar bahwa kehidupannya telah berpindah ke anaknya. Sehingga bagi dia kematianya tidak lain sudah dilanjutkan oleh anaknya.
Bila fungsi keindukan ini dianggap sebagai sebuah prestasi dan kebaikan, maka hewan tentu jauh lebih berprestasi. Bayangkan saja kucing yang setiap hari kita liaht berkeliaran di sekitar rumah kita, bisa menemukan tempat yang aman untuk bersalin, dan melindungi anaknya, member anaknya makan, sampai ketika anaknya dirasa aman, kuat secara fisik ia biarkan keluar. Ketika kita melihatnya usianya sudah berberapa bulan. Ia melahirkan tanpa bantuan dukun, bidan apalagi dokter. Ia juga tak perlu mencari rumah bersalin untuk melahirkan anaknya.
Dengan segala macam cara instingnya mendorongnya untuk mencari tempat untuk melahirkan anaknya secara aman. Dalam merawat anak, perhatikan binatang buas seperti buaya dengan rahang raksasa yang menakutkan itu dengan lembut, tanpa terluka sedikitpun dia memindahkan telur lalu mengeraminya tanpa ada yang terinjak. Lalu saat sudah menetas ia akan memindahkannya dengan mulutnya dengan lembutnya induk buaya itu memindahkan ke muara atau ke laut dan mengajarinya untuk berenang. Serta melindunginya dari segala predator dan kemungkinan yang membahayakanya dengan segenap keberanian.
Manusia, yang melahirkan anak adakala hanya tidak menjalanakan fungsinya sebagai induk. Anaknya lahir begitu saja ditelantarkan, kalau tidak ditelantarkan, dieksploitasi, dijadikan pengemis. Anak di Jakarta yang menjadi penghuni tetap lampu merah di zebra cross, mereka adalah anak-anak dari induk-induk yang meninggalkan insting keindukannya. Mereka bukan hanya bukan ibu, mereka bahkan bukan induk. Dalam satu masa di daerah antartika, itu ada ribuan penguin dengan bentuk yang terlihat sama, dan pada saat mereka harus ke luar dari laut dan mencari anaknya yang juga kelihatan sama, mereka bisa menemukan anaknya dan memberikan makanan pada anaknya dengan penuh kasih-sayang. Tapi lihatlah kita sekarang, dalam kehidupan mansuia, anak justru diabaikan.
Manusia yang hanya melahirkan, menyayangi, memberimnya makan, membersarkannya, belum layak disebut sebagai ibu. Karena ia hanya menjalakan fungsinya sebagai induk, bukan ibu. Menyayangi, melindungi, memberi makan, menjaganya itu adalah kebutuhan bagi induk. Karena nalurinya mendorong itu. Sampai-sampai kalau tak mendapatkan objek untuk mencurahkan kasih-sayangnya, dia mengadopsi anak. Kalau tidak ada anak ia perlu menuangkan kasih sayangnya ke boneka panda atau apa pun yang jadi objek kasih-sayangnya.
Anak pun begitu. Anak bagi induk juga menerima kasih-sayang sebagai sebuah kebutuhan. Hidup berkelompok, membina rumah tangga, itu semua adalah gerak instingtif, saling menopang dalam sebuah administrasi yang begitu saja tiba-tiba orang tak perlu belajar untuk membina fungsi rumah tangga, induk, menjaga, dan mencari makan. Itu semua adalah tugas-tugas naluriah. Yang karena itu dia tidak layak untuk mendapatkan reward, karena itu adalah kerhendak yang mau tak mau jalan. Tak perlu ayat, doktrin agama untuk menerangkan, karena ia sudah ada secara alamiah.
Siapa yang disuruh mencintai anak? Justru yang disuruh karena sudah kehilangan cinta pada anaknya. Mengapa perlu disuruh karena manusia sudah kehilangan, sudah tergradasi. Sehingga perlu diingatkan supaya tidak hilang naluri. Naluri ini sudah tertanam, bukan disampaikan. Ia akan bergerak secara natural, secara otomatis.
Begitu banyak perempuan melahirkan, menyayangi, membiayai, melindungi, menjaga anaknya tetap sehat, tapi tidak memperhatikan aspek pendidikan, peningkatan moral, aspek kesadaran norma, maka ia tak lebih dari sebuah induk.
Sedangkan ibu, adalah fungsi kemanusiaan. Yang tidak mesti melahirkan. Kadangkala seorang perempuan tidak melahirkan sehingga ia tak befungsi sebagai induk, tapi dia bisa berfungsi sebagai ibu. Saat ia mendidik, merawat, tanpa ikatan biologis, tanpa ikatan genetik. Artinya bisa jadi seorang perempuan hanya induk. Bisa jadi seorang perempuan hanya ibu. Bisa jadi seorang perempuan bukan induk juga bukan ibu. Dan bisa jadi seorang perempuan induk sekaligus ibu.
Agama, norma, etika, logika, tradisi, hukum, dlsb itu berlaku terhadap perempuan yang berposisi sebagai ibu. Karena apa? Karena nalar, karena akal sehat yang menggerakkan. Yang menjadi sumber gerak dan aktifitasnya.  Anjuran-anjuran menghormati perempuan sebagai ibu, itu adalah penekanan pada humanitasnya, aspek fungsi kemanusiaan pada pendidikan dan peningkatan moral, penghambaan pada Allah SWT. Dan pada perempuan-perempuan ini, yang menjalankan fungsi keperempuanan inilah surga ada di bawah kaki mereka.

ISTRI

Harus dibedakan antar istri dan pasangan. Memiliki ketertarikan pada pasangan lain adalah sebuah realitas naluriah. Fakta takwini yang justru karena itu ia disebut normal. Ketika hendak mengekspresikan ketertarikannya, akal berfungsi. Hewan tidak berfungsi karena ia tak digerakkan nalar sehingga tidak dituntut dgn norma, etika agama, hukum, dsb. Sedangkan yang berposisi sebagai istri, istri adalah sebuah fungsi kemanusiaan, insaniah. Yang ketertarikan nya pada pasangan harus diekspresikan secara Hasil gambar untuk muslimahfisik berdasarkan norma, agama, etika, hukum, dlsb. Karena itu muncullah malu. Malu adalah sebuah peristiwa intelektual. Bukan peristiwa emosional. Malu itu muncul ketika orang merasa bersalah melanggar norma-norma etika dan agama. Itulah malu yang sah dan logis. Sedangkan malu di luar, bukan karena logika, bukan karena melanggar norma agama itu adalah malu yang tidak pada tempatnya. Inilah yang disebut malu sebagian dari iman. Artinya, orang yang sadar bahwa ia melanggar etika norma agama ia malu. Dan karena malu itulah ia mengendalikan kehendaknya dan membatasi ekspresi fisiknya. Itulah derita. Dan karena derita itulah ia berhak mendapatkan reward.  Agama, aturan hukum yang disusun oleh orang-orang logis, orang-orang rasional, itu dilakukan agar ekspresi itu tidak menciptakan agresi pada orang lain. Ekspresi ketertarikan pada pasangan itu agar tidak menimbulkan agresi pada pihak lain, dan menimbulkan konflik karena perebutan dan pertengkaran. Ini tidak berlaku dalam dunia hewan. Karena itu seringkali perkelahian perebutan itu merupakan bagian normal dalam ekspresi fisik ketertarikan pada lawan jenis.
Apa yang membedakan ketertarikan hewani dan ketertarikan insani kepada lawan jenis? Itu adalah norma dan arena norma yang membedakannya, maka harus diikuti aturan norma itu. Dibuatlah kontrak sosial. Dibuat ikatan yang sakral. Dengan komitmen, tanggungjawab masing-masing dalam sebuah ikatan yang disebut akad atau kontrak perkawinan/nikah.
NIKAH
Hasil gambar untuk muslimahNikah adalah sebuah event naluriah pada dasarnya, yang dibatasi, diselenggarakan sesuai dengan norma, agama, tradisi, hukum, dlsb. Maka, dari ikatan itu muncullah rasa saling membutuhkan. Saling melengkapi. Karena masing-masing kurang, maka penyempurnaannya adalah ketika mendapatkan pihak lain. Seperti hubungan atas-bawah. Itulah harmoni. Pemberi mendapatkan penerima, penerima mendapatkan pemberi.
Dan masing-masing memiliki hak yang sama. Juga reward yang berbeda sesuai dengan jerih-payah dan kesetiaannya pada tanggungjawab. Tidak ada dominasi satu pihak pada pihak lain, karena yang terjadi adalah mutualisme. Meskipun secara lahiriah terlihat ada yang memimpin ada yang dipimpin. Tapi pemimpin dalam rumah tangga membutuhkan yang dipimpin. Dan yang dipimpin butuh pemimpin. Seperti direktur dan office boy, terlihat seperti direktur tak butuh office boy. Tapi sebenarnya keduanya saling membutuhkan. Direktur tak bisa bekerja tanpa office boy. Office boy tak bisa bekerja tanpa direktur. Inilah mutualisme.
Dalam Islam, ikatan nikah itu disebut sebagai akad atau kontrak. Yang hanya bisa diselenggarakan ketika ada dua pihak, yaitu pihak yang request dan pihak yang menerima/menyanggupi/accept. Atau ijab dan qabul. Islam memberikan hak ijab kepada perempuan, yang dengan itu ia punya otoritas penuh atau hak penuh untuk:

  1. Menentukan siapa pasangannya.
  2. Menetukan jumlah biaya yang menurutnya sudah sepadan dengan gantirugi atas pengorbananya mengurangi kebebasannya menjadi pasangan bagi laki / Berapa biaya yang harus diterimanya sebagai ganti rugi pengorbanannya mengurangi kebebasannya menjadi pasangan, yang disebut mahar atau mas kawin. Ini membuktikan bahwa Islam mengapresiasi perempuan secara sosial dalam fungsi perkawinan. Dan memberikan hak penuh.

Sementara laki adalah pihak yang dikawini. Laki adalah objek, permepuan sebagai subjek. Kalau mau ditafsirkan secara feminine, maka perempuan lebih dominan. Namun kenyataannya yang terjadi justru sebaliknya.
Dalam masyarakat muslim, lelaki/kaum laki justru mengambil alih posisi perempuan. Dan mendeclarekan dirinya sebagai pihak yang mengawini. Dan pada giliriannya perempuan, menerima sebagai yang dikawini. Padahal itu jelas-jelas tidak sesuai dengan perkawinan dalam islam. Akibatnya perempuan seakan-akan kehilangan hak pilih untuk memilih/menentukan pasangannya, dan hak untuk meentukan jumlah mas kawinnya. Akibat berikutnya adalah, penyesalan, kekecewaan, dan tidak sedikit rumah-tangga yang berakhir dengan kehancuran.
Dalam fikih Islam, memang terkesan, laki mendapatkan hak yang lebih dari perempuan. Padahal, kenyataannya, fikih yang logis, tidak demikian.
Mengapa? Karena baik laki mau pun permepuan sama-sama memiliki hak untuk mendapatkan nafkah, terutama nafkah batin. Tapi kenyataan yang berkembang seolah-olah pemenuhan kebutuhan nafkah batin adalah laki yang sbg penerima. Padahal mestinya yang lebih butuh yang meminta. Secara mutual laki harus penuhi kebutuhan istri, istri harus memenuhi kebutuhan suami. Akrena keduanya adalah makhluk biologis.
Dalam banyak riwayat anjuran kepada istri memenuhi kebutuhan seksual suami itu sangat banyak. Namun kita hampir jarang anjuran pada suami agar memnuhi kebutuhan seksual istri. Mungkin karena ini, suami seringkali mengabaikan kebutuhan seksual istri. Dan akibat ini pula terjadi disharmoni rumah tangga. Karena itu, ketika suami dalam situasi tertentu tak bisa memenuhi kebutuhan seksual istri, maka suami yang memahami tanggungjawabnya sebagai suami harus ‘membantu’ istri memenuhi kebutuhan seksualnya meski pun tidak melakukannya melalui kontak kelamin. Bila tidak, yang dikkhawatirkan justru istri memenuhi kebutuhan seksualnya dengan cara yang tidak sesuai dengan agama, norma, etika dan hukum. Inilah yg seringkali menjadi penyebab hancurnya rumah tangga, terjadinya perselingkuhan, dsbt.
ANAK
Hasil gambar untuk ANAK muslimahPerempuan sebagai anak bukanlah properti bagi ibu. Ia adalah makhluk dengan jiwa baru. Proses persalinan atau melahirkan tak lain adalah proses penitipan lahirnya sebuah raga yang jiwanya dari Tuhan. Jiwanya berproses melalui pembentukan raganya. Tapi jiwanya dia adalah darah-dagingnya, tapi jiwanya adalah sesuatu yang sama sekali baru. Dan karena itu ia bukan propertinya, bukan hambanya, makhluk yang sepadan dengan ibunya, yang melahirkannya.
Dan secara hukum, saat dia mencapai usia dewasa, 9 tahun, tapi menurut standar modern 7 tahun karena nutrisi dan makanan yang berkadar hormon tinggi, saat itu pula anak perempuan harus diperlakukan sebagai wanita dewasa dengan hak-hak privasinya. Hak privasi terbagi menjadi 2:

  1. Privasi dalam arena pergaulan sesama muhrim: ayah, ibu saduara, paman. Dalam arena ini anak perempuan harus punya privasi pada auratnya dan hal-hal yang berhubungan dengan tubuhnya harus diperlakukan sebagai orang dewasa. Ada ruang privat. Kalau tak bisa persiapkan kamar khusus buat anak permepuan, jangan punya anak permepuan. Karena anak perempuan beda dengan anak laki. Anak laki dewasanya 14 tahun. Laki masih main tanah, perempuan sudah bantu ibu masak, dan ada usia manopousenya.
  2. Privasi dalam area pergaulan pada non muhrim; dia lebih ketat, dia harus lebih menjaga posisinya. Misalnya jangan posisikan yang bukan paman sebagai paman, yang bukan saudara tidak sebagai saudara. Adik ipar, misan, itu adalah orang lain. Bukan muhrim.

KETIGA adalah fungsi sosial di dalam institusi rumah tangga. Sedangkan fungsi sosial perempuan dalam institusi Negara, tentu berbeda. Sesuai, meliputi urgensi, kapasitas, prioritas, dan perannya tanpa mengabaikan fungsi sosialnya dalam institusi rumah tangga.
Salah satu fungsi sosial perempuan dalam Negara adalah perannya dalam institusi-institusi yang lebih kecil dalam Negara, misalnya dalam organisasi, dalam perusahaan, dalam aktifitas-aktifitas publik. Ini semua diperbolehkan selama tidak menegasi fungsi-fungsi sosialnya dalam rumah.