Skip to main content

Perspektif “Das Sein”

By March 13, 2013No Comments

Agama dihadirkan demi menciptakan individu dan masyarkat yang kacau menjadi tertib, ataukah dihadirkan untuk menjadi aturan bagi individu dan masyarakat yang sudah tertib? Bila agama dihadirkan untuk menertibkan individu dan masyarakat yang semula kacau, maka mestinya masyarakat beragama menjadi tertib.
Namun faktnya, masyarakat yang tak beragama bahkan tak percaya lebih tertib. Sedangkan masyarakat yang ingin menjadikan agama yang dianutnya sebagai sistem bermasyarakat dan bernaga terbukti tidak tertib.
Bila agama tdk menciptakan individu dan masyarakat tertib, maka hanya dua pilihan: 1. Meninggalkannya karena gagal, 2. Tetap menganutnya meski gagal.
Bila agama dalam kenyataan historis dan faktualnya tidak menciptakan individu dan masyarakat yang tertib dan teratur, dan ditemukan individu dan masyarakat tertib dan teratur di bawah sistem selain agama, maka alasan mengimani agama lenyap.
Bila tetap menganutnya meski gagal, padahal agama secara historis dan factual tidak menciptakan masyarakat yang tertib, maka hanya ada tiga  konsekuensi; 1) Tetap menganutnya sembari menyempurnakannya sendiri dengan pandangan-pandangan di luar agama dengan harapan agar ia relevan dan bisa menciptakan individu dan masyarakat tertib.
Bila tetap menganut agama namun memasukkan pandangan-pandangan non agama di dalamnya demi membuatnya relevan dan efektif menjadi sistem yang menciptakan keteraturan dan ketertiban, maka agama kehilangan kemurniannya. Bila terbukti mampu menciptakan ketertiban dan keteraturan, setelah mengadopsi ide-ide di luar agama, maka ia menjadi sistem non agama.
Bila tetap menganut agama namun mengakui kegagalannnya menjadi sistem yang menciptakan keteraruran dan ketertiban sembari menyalahkan manusia sebagai penyebab kegagalan karena tidak memematuhinya, maka itu berarti agama dihadirakan untuk masyarakat yang telah patuh dan tertib. Bila agama dihadirkan untuk masyarakat yang sudah patuh dan teratur, maka itu berarti keteraturan dan ketertiban tidak dihasilkan dari agama. Bila telah tertib dan teratur tanpa agama, maka alasan untuk menganutnya lenyap.
2) Tetap menganutnya sembari menyalahkan dan menimpakan alas an kegagalan kepada individu dan masyarakat dengan alasan mereka tidak mematuhi agama sehingga tidak menjadi tertib dan teratur. 3) Tetap menganutnya dengan mencari perspektif lain tentang agama.
Ini menjadi deadlock dan jalan buntu bila agama dipandang sebagai das sein, agama sebagai “apa yang terjadi” secara konkret dan faktual.
Perspektif “Das Sein”
Namun bila kita mau membuka pikiran dan mulai berani memandang agama sebagai “das sollen”, agama sebagai “yang mestinya terjadi”, maka kita akan mendapatkan perspektif lain yang bisa menyuplai kita alasan rasional untuk tetap menganut agama dengan pandangan baru. Bagaimana penjelasannya?
Tulisan spontan ini insya Allah akan saya sempurnakan berupa artikel yang lebih komprehensif.