Revolusi teknologi digital, yang memberikan kesempatan mengakses informasi tentang apapun serta menyingkap hal-hal yang sebelumnya tertutup, dimanipulasi dan dikuasai secara eksklusif oleh rezim feodal penguasa dinasti simbol. Pembodohan yang dirawat secara temurun oleh sebagian anasir sebagai tradisi dan gaya hidup berupa perbudakan, termasuk eksploitasi seksual, yang dibungkus dengan narasi agama mulai dilawan. Kasus demi kasus diungkap. Ironis!
Kejahatan seksual dan pencabulan, termasuk pembiasaan prilaku menyimpang dalam banyak lingkungan berdinding pendidikan agama bukanlah yang pertama. Mungkin yang tak terungkap lebih banyak. Dan yang tertangani secara hukum jauh lebih sedikit dari yang telah terungkap.
Ketika pelakunya diopinikan sebagai wali atau punya relasi kekerabatan figur yang dimuliakan, pelecehan pun kerap dianggap tidak terjadi atau diterima dan status korban secara “alami” menjadi kabur bahkan bisa menjadi relawan yang takut atau terhipnotis sehingga kehilangan kendali kognitifnya.
Sekolah berasrama atau pesantren menjadi pilihan para orang tua yang ingin puterinya menjadi solehah dan berada dalam lingkungan yang relilijius karena kepercayaan personal disertai penghormatan luar biasa kepada sosok agamawan yang mengelolanya sehingga terkesan “menyerahkan”nya kepada sang figur untuk dididik. Inilah awal petaka.
Ketika agama terlanjur dipersonalisasi, maka kebenaran dan kepalsuan juga kebaikan dan kejahatan ditentukan oleh agamawan, bukan hukum dan UU. Tanpa disadari, dia dianggap suci dan kebal hukum Tuhan, bahkan hukum negara.
Tentu kasus-kasus itu bukan alasan logis untuk mengeneralisasi. Yang patut disyukuri, kesadaran untuk melawan immoralitas ini justru tumbuh dalam lingkungan pesantren. Salah satu aktivis yang gigih meneriakkan keadilan adalah Roy Murtadho, intelektual muda, putera seorang kyai terkemuka dan alumni pesantren Tebuireng Jombang yang melanjutkan studi akademik di STF Driyarkara.