PESTA PACU ADRENALINE
Aksi ramai-ramai bermotif serius atau cuma hura-hura disuka anak muda karena seru dan jadi kesempatan memenuhi adrenaline dan meluapkan vandalisme. Syukur-syukur bisa terkenal karena video bentroknya viral. Who knows?!
Bentrok antar penonton, antar suporter, bahkan antar pemain, tawuran kampung, rebutan lahan parkir dan kekerasan horisontal bukanlah berita langka. Alhasil, ribut, debat, perang twitt dan saling serang di timeline dan kegaduhan sudah menjadi gaya hidup, bukan semata-mata politik.
Coret-coret, teriak-teriak bebas, memaki dan melakukan aksi tanpa norma adalah sesuatu yang tak mudah dilakukan. Norma agama, etika dan hukum yang membatasi gerak individu. Karena itu, yang mau melakukannya merasa bebas, merdeka, jujur dan berani. Mungkin sebagian menganggap yang tak melakukannya sebagai pengecut, hipokrit, lemah dan bermental budak.
Tentu tak bisa dinafikan adanya sekelompok pemuda yang idealis dan rela mengorbankan dahi dan kepala berdarah serta tubuhnya babak belur terkena pentungan pasukan anti huru hara demi membela rakyat. Mereka jujur, bukan tenaga bayaran, tak menyewa jas almamater dan tak merusak fasilitas yang dibangun dengan uang rakyat yang mereka bela. Mereka hanya ingin korupsi diberantas habis, bukan membatalkan hasil pemilu.
Di antara para pemburu vandalisme ada sekelompok yang memang mengusung doktrin politik anti negara, apapun bentuknya, yang dianggapnya sebagai sistem korup dan despotik berkedok demokrasi dan kejahatan struktural bergincu retorika.
Di tengah anak-anak muda bercelana blue jeans dan berjaket universitasnya masing-masing itu, ada alumnus universitas tak terdaftar. Mereka berbaur di tengah massa aksi, tapi tak berambut gondrong, tak modis, tak milenial, pakai celana lipatan bawah, bertato di jidat dan terlihat maksa berjenggot meski takkan sama dengan Steven Spielberg. Sebenarnya mereka tak peduli tuntutan yang dipekikan para demonstran, tapi numpang keramaian dengan harapan demokrasi yang toghutis ambruk dan digantikan oleh sistem agama.