Skip to main content

Tersebutlah di sebuah kota besar bernama Kadalkarta, sedang berlangsung sebuah hajatan besar, yaitu Pilkadal (pemilihan kepala daerah secara langsung) untuk lima tahun mendatang.

 

Karuan saja, jalan-jalan yang biasanya macet jadi maha macet karena konvoi dan pawai para pendukung calon pemimpinmotor yang ugal-ugalan. Sampah-sampah juga makin menumpuk di sepanjang jalan karena ada aksi saling robek poster dan sepanduk. Semula banyak figur yang berencana untuk maju sebagai kandidat, termasuk calon independen, namun konstelasi kekuasaan dan bargaining politik hanya meluluskan dua calon yang dianggap berpeluang untuk memimpin Kadalkarta.

 

Dengan biaya puluhan miliar rupiah, kedua kubu berkampanye merebut hati warga kota. Masing-masing mengumbar janji akan membangun dan meningkatkan kesejahteraan penduduk.

 

Di luar cara kampanye yang konstitusional dan legal, disinyalir marak modus-modus yang diistilahkan ‘kampanye hitam’. Ada yang menduga sejumlah pejabat kelurahan, berikut RW dan RT melakukan intimidasi dengan menahan kartu pemilih. Ada pula yang mengendus rencana untuk menyuplai pemilih yang berjumlah ratusan ribu dari luar Kadalkarta. Berdasarkan pengamatan para ahli, antusiasme masyarakat Kadalkarta terhadap Pilkadal ini sangat rendah. Ini dianggap sebagai indikasi melonjaknya angka golput. Mereka meyakini ‘pengkadalan’ akan terjadi bila salah satu dari kedua kadal itu menjadi pemimpin Kadalkarta. Meski demikian, sejumlah LSM melakukan kampanye gencar tentang tentang ancaman money politic. Kinerja dan sikap netral KPUD juga dirosot tajam oleh Panwasda. Saking ketatnya, ketua KPUD pun diberhentikan. Ini adalah isyarat baik bahwa Pildakal akan berjalan dengan bersih dan demokratis. Semoga.

 

Kadalkarta adalah kota dengan sejuta masalah, mulai dari kemacetan lalu lintas, kacaunya transportasi, buruknya pelayanan dan sarana umum, meningkatnya polusi udara, keruwetan tata kota, banjir, pengangguran, kebakaran yang direncanakan maupun tidak, kemiskinan, premanisme, anak jalanan, prostitusi, rumah liar, terorisme dan sebagainya.

 

Belajar dari pengalaman yang sangat banyak, Kadalkarta dan kota-kota lainnya di dunia termasuk Jakarta, ibukota republik Indonesia, tidak memerlukan figur populer maupun putra daerah, sipil maupun milter. Simbol nasionalisme dan relijiusitas serta slogan bombastis juga tak akan mampu melenyapkan sikap kritis “massa mengambang” yang konon jumlahnya sangat banyak. Yang diinginkan warga adalah merasa aman di kota sendiri. Narkoba, premanisme dan pengangguran tidak bisa dilenyapkan dengan poster dan bakti sosial dadakan. Ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang telah menjadikan keadilan sebagai darah dagingnya.

 

Secara kebahasaan keadilan (al-adl) dapat diartikan sebagai keseimbangan. Allah berfirman, Berlakulah adil, karena ia paling dekat dengan takwa. Secara keagamaan, bersikap adil diartikan sebagai ‘meletakkan sesuatu pada tempatnya’ atau berlaku dan memperlakukan sesuatu secara proporsional. Allah berfirman, “Berlakulah adil, karena ia paling dekat dengan takwa.” Seseorang yang melaksanakan tugas kehambaannya secara utuh adalah orang yang berlaku adil terhadap dirinya sendiri. Ia layak menyandang predikat adil karena memperlakukan dirinya secara proporsional dan baik. Sese-orang yang berlaku dan bersikap adil terhadap diri sendiri ber-peluang untuk berlaku adil terhadap selain dirinya, terhadap teman, bawahan dan rakyat Sebaliknya, seseorang yang tidak adil terhadap diri sendiri sangat mungkin untuk tidak adil terhadap orang. Sudahkah kita menemukan calon pemimpin yang bersikap adil terhadap diri sendiri dan orang lain? Memilih seseorang yang tidak adil atau belum dipastikan bersikap adil sebagai pemimpin berarti bertindak tidak adil. Memberikan hak suara bukan sekedar ‘main coblos’. Ia adalah sebuah aksi yang akan berdampak secara massal, baik maupun buruk. Memilih atau tidak memilih sama sekali tidak bisa dipandang sebagai sebuah peristiwa aksidental dan personal.

 

Karena memilih itu adalah hak warga, bukan kewajiban, maka tak seorangpun, termasuk aparat kelurahan, yang berhak memaksa warga mengikuti Pilkadal, apalagi mengintimidasi warga untuk memilih salah satu calon. Bila dirasa tidak ada calon yang sesuai dengan kriteria adil berdasarkan kesadarannya, maka tidak memilih adalah sikap demokratis yang patut dihargai. “Dan janganlah bergabung dengan orang-orang zalim” (al-Quran). Memilih maupun tidak memilih adalah sebuah pilihan yang akan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah. Semoga Pilakadal DKI tidak menjadi pil kadaluarsa (expire) yang tentu berbahaya untuk dikonsumnsi. (adilnews.com)