Pada Juni mendatang Iran akan menyelenggarakan pesta demokrasi terbesar. Ada enam kandidat presiden yang akan bertarung.
Pipres Iran selalu menarik untuk diamati karena beberapa alasan. Pertama, partai politik tidak memainkan peran penting, kecuali sebagai alat kampanye. Setiap orang, laki maupun perempuan, bisa mencalonkan diri tanpa partai. Meski demikian, faksi yang mengusungnya mencerminkan visi dan arah politiknya. Kedua, setiap bakal calon mesti melewati verifikasi dan tes fit and proper yang dilakukan oleh Dewam Gadra yang merupakan lembaga negara sekaligus keagamaan. Ia berfungsi semacam KPU plus. Selain meneiliti kelayakan administrasi, juga menguji kelayakan moral. Ketiga, negara tidak ikut membiayai dana kampanye partai maupun kandidat.
Uniknya, dalam pilpres kali ini, kandidat yang diyakini berpeluang besar adalah tiga pria non mulla, yaitu DR. Ahmadinejad DR. Ali Larijani, Ketua Parlemen dan Mohsen Kalibaf. Sedangkan kandidat mulla lainnya adalah Mehdi Karrubi, Mohammad Khatami, dan Abdullah Nuri.
Nama Mohammad Khatami, mantan Presiden juga mengemuka dalam bursa kali ini. Ia didukung oleh keluarga almarhum Imam Khomeini, yang sejak semula menguasai jaringan LSM di Iran.
Mehdi Karrubi, mantan Ketua Parlemen dan Ketua Faksi Ulama Reformis, dipastikan akan terjun dalam pilpres karena dukungan para ulama reformis yang selama ini getol mengkritik kebijaksaan ekonomi Ahmadinejad. Namun banyak pihak menganggap peluangnya untuk menang sangat kecil.
Abdullah Nuri, mantan Menteri Dalam Negeri, adalah tokoh mulla kontroversial, karena sempat memberikan pernyataan-pernyataan yang menimbulkan pro dan kontra, bahkan menyentuh otoritas tertinggi di Iran. Namun, hingga saat ini, pencalonannya belum dipastikan.
Ali Larijani, mantan negosiator Iran dalam masalah nuklir dan mantan Ketua Dewan Keamanan Nasional, adalah putra ulama besar Qom yang konon didukung oleh para pemuka pusat keagamaan di Qom (hawzah).
Mohsen Qalibaf, walikota Tehran, adalah teknokrat yang memiliki catatan positif. Meski pernah kalah dalam pilpres lalu, ia dianggap sebagai “kuda hitam” yang bisa menjadi “presiden kejutan” seperti Ahamdinejad empat tahun silam.
Ahamdinejad tetap dianggap sebagai orang yang paling berpeluang untuk menjadi presiden lagi, meski dinilai kurang sukses mengatasi inflasi dan menekan angka pengangguran.
Agaknya, pilpres Iran kali ini bisa dianggap pertarungan “jubah versus jas”.