PISAHKAN AGAMA DAN NEGARA

PISAHKAN AGAMA DAN NEGARA
Photo by Unsplash.com

Agama pada fakta perilaku para penganutnya bukan solusi masalah masyarakat, tapi justru sumber masalah. Salah satu penyebabnya adalah tumpang tindih otoritas agama yang mengikat warganya dan otoritas Negara yang mestinya mengikat semua warganya yang menganut aneka agama.

Kontrak sosial dan kesepakatan rasional lebih relevan dan realistis. Negara dan undang-undang harus dibebaskan dari agama yang hanya dianut oleh sebagian warganya. Justru para pemuka agama harus membuat penafsiran yang sesuai dengan produk undang-undang. Sebaiknya masing-masing komunitas penganut menyelesaikan problem keagamaannya sesuai afiliasi alirannya. Itu pun belum tentu bisa direalisasikan. Tak perlu lagi, misalnya, ada dua peradilan dalam sebuah instusi negara yang dihuni oleh masyarakat majemuk.

Mungkin Negara bisa membantu setiap masyarakat penganut agama -yang merupakan warganya- melakukan penertiban internal, misalnya melakukan sertifikasi agamawan berdasarkan asas kompetensi demi mengurangi korban dogma intoleransi dan ujaran kebencian yang selama berabad-abad dianggap sebagai ajaran agama.

Pemisahan agama dan negara dalam konteks masyarakat majemuk tidak berarti menganggap agama sebagai ajaran yang hanya mengurusi hubungan vertikal dan tidak pula membatasi cakupan agama yang kerap dicap sekularisme, tapi semata-mata merupakan aplikasi pilihan kontekstual dan faktual. Pandangan ini adalah konsekuensi logis melihat agama secara de facto dan fakta masyarakat majemuk dalam sebuah institusi negara.

Mungkin ada yang menyatakan keberatan terhadap ide pemisahan agama dan negara dalam konteks Indonesia dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila. Mestinya mudah dipahami bahwa sila pertama tidak meniscayakan agama sebagai dasar dan asas negara, karena alasan-alasan sebagai berikut;

1. Relasi agama ketuhanan dengan agama adalah relasi asosiasi (umum dan khusus) bukan equivalansi (kesamaan). Bertuhan tak niscaya beragama, tapi beragama pastilah bertuhan. Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu pilar kepercayaan kepada agama. Artinya, alasan utama menganut agama adalah kepercayaan kepada Tuhan yang diyakini menurunkan ajaranNya berupa agama. Namun kepercayaan kepada Tuhan atau mempercayai eksistensi Pencipta alam semesta bisa beranggapan Tuhan tidak mengatur hambaNya melalui agama yang diturunkannya, atau tak merasa perlu menganut sebuah agama karena salah satu dari bermacam alasan.

2. Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama kerap dipahami sebagai dasar justifikasi dominasi agama dalam Negara, namun sulit diterima dengan alasan-alasan sebagai berikut :

A. Bila sila pertama ditafsirkan sebagai kepercayaan kepada agama, maka itu menafikan Pancasila sebagai dasar masyarakat Indonesia yang majemuk. Faktanya, banyak yang tak menganut sebuah agama sebagai sebuah organisasi formal tapi menganut kepercayaan perenial yang luas.

B. Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah sebuah konsep kepercayaan yang hanya dianut oleh umat-umat beragama, tapi prinsip teologi independen yang diyakini oleh umat manusia sebelum menganut agama. Justru karena itu, ia diterima sebagai sila pertama dalam Pancasila yang merupakan asas negara dan bangsa yang majemuk termasuk kelompok aliran kepercayaan dan lainnya.

C. Ketuhanan Yang Maha Esa bukan prinsip teologi sebuah agama, tapi diyakini oleh semua agama dengan ragam pola penafsirannya masing-masing. Justru karena itu, ia diterima sebagai sila pertama dalam Pancasila yang merupakan asas negara Indonesia yang dihuni oleh sebuah bangsa multi agama.

D. Bila sila pertama hanya bernakna kepercayaan kepada agama secara umum, mestinya tidak berisikan Ketuhanan Yang Maha Esa tapi kepercayaan agama.

E. Bila sila pertama hanya bernakna kepercayaan kepada sebuah agama secara khusus, mestinya sila tersebut menetapkan kepercayaan kepada nama tertentu, bukan Ketuhanan Yang Maha Esa.

F. Andai sila pertama bermakna kepada kepercayaan beberapa agama secara terbatas, mestinya menetapkan kepercayaan kepada agama-agama dengan pencantuman nama sebagai sila pertama.

G. Andai Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila bermakna kepercayaan kepada beberapa agama secara terbatas, mestinya dalam sila pertama ditetapkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan pencantuman beberapa nama agama yang dimaksud.

3. Ketuhanan Yang Maha Esa kerap pula dipahami sebagai konsep teologi khas Islam karena menyangka keesaan Tuhan hanya ada dalam ajarannya.

A. Andai sila pertama hanya bermakna ajaran ketuhanan dalam Islam sebagai syahadat ketauhidan, mestinya ia mencantum syahadat kerasulan, karena dengan dua syahadat inilah keislaman setiap individu ditetapkan.

B. Andai sila pertama hanya bermakna ajaran ketuhanan dalam Islam sebagai syahadat ketauhidan, mestinya konsep teologi rincian seputar Tuhan dalam khazanah Islam tidak beragam, namun tunggal.

Read more