Skip to main content

POLITIK AYAT

By October 8, 2016No Comments

Setelah “politik uang” menjadi kategori baru dalam kamus politik kontemporer, kita mulai heboh dengan “politik ayat”.
“Ayat” adalah serapan Arab yang berarti tanda atau simbol. Dalam al-Quran kata “ayat” digunakan untuk aneka arti dan konteks. Secara kebahasaan, “ayat” terbagi dua; 1) ayat qauliyah, yaitu tanda-tanda verbal; 2) ayat kauniyah, yaitu tanda-tanda kosmik berupa entitas-entitas dan kejadian-kejadian alam.
Disebut “ayat suci” karena tidak sembarang mulut dan tangan bisa menafsirkan dan mengutipnya. Penambahan “suci” demi membedakannya dari butir-butir undang-undang, surat kontrak dan sebagainya.
Disebut “Kalam Tuhan” karena setiap kata yang tertera di dalamnya adalah wahyu. Disebut wahyu karena kebenarannya mutlak.
Penafsiran dan persepsi setiap umat tetaplah relatif. Namun itu tidak berarti setiap orang berhak menafsirkannya lalu menerapkannya begitu saja.
Satu hal penting yang perlu diketahui, siapapun, bahkan selain Muslim boleh mengutip teks terjemahan resmi/benar ayat suci al-Quran, tapi tak boleh menafsirkannya apalagi menjadikan bahan justifikasi sikap yang belum dipastikan benar. Muslim yg tak kompeten pun demikian.
Untuk menafsirkannya, diperlukan sejumlah ilmu supaya aplikatif, relevan dan selaras dengan akal sehat. Begitu sakral kitab ini hinggaannya.
Para ulama sejati alias agamawan dengan kualifikasi intelektual dan spiritual prima tidak gampang mengutip ayat al-Quran karena menghormatinya dengan kerendahan hati dan menyadari keterbatasan pemahamannya.
Menjelang pilgub DKI, seperti sebelumnya, selain politik uang, politik ayat juga marak. Sentimen sektarian dan kampanye hitam bermuara SARA selalu mewarnai kompetisi politik.
Sayangnya, yang menentang calon tak seagama menghamburkan ayat, riwayat dan hikayat. Yang mendukungnya juga tak kalah gencar menggelar ayat, hadis dan mengutip sahabat terpandai Nabi. Masing-masing mengobral teologi kekuasaan dengan sampul konsistensi atau dengan dalih toleransi. Inilah politik ayat.
Menolak pemimpin yg kebetulan non Muslim tak berarti menolak ke-nonmusliman-nya. Mendukung calon yang kebetulan beragama Islam tak niscaya intoleran dan anti non Muslim. Sebagian orang yang indepeden dalam sikap politik dan toleran tidak merisaukan agama calon pemimpin, namun yang mereka persoalkan adalah kebijakan yang dianggap tidak manusiawi atau alasan-alasan logis lainnya.
Untuk dapat memahami makna lahir Quran diperlukan intelektualitas prima dan untuk menangkap batinnya perlu spiritualitas maksimal supaya tafsirnya komprehensif.
Saat masyarakat awam dibodohi dengan opini bahwa pilgub adalah pertarungan agama, maka yang menjadi korban adalah agama, ayat suci dan rakyat yang lugu. Siapapun, yang memperalat ayat suci yang sengaja diarahkan tafsirnya demi mengambil kekuasaan atsu melucutinya, dan pihak meresponnya secara emosional, karena dideskreditkan, bisa dianggap mempermainkannya.
Saat itu yang terjadi adalah kompetisi jorok dan perkelahian bebas dengan pembunuhan karakter, pemelintiran, intimidasi dan semua kreasi kenistaan.