Skip to main content

Karena kejar tayang dan merasa ditunggu para pembeo (follower dan subscriber) menganggap semua yang meluncur dari mulutnya semi wahyu, comment ulangan; benar, jernih, bijak, mantap, hebat dan top, tak merasa perlu jeda sejenak untuk memperluas area literasi dan libur ngonten. Meski semua kontennya itu-itu juga, nyinyir dan menghina, bagi yang sudah meng-agamakan- pilihan politik berupa kandidat atau parpol, terutama memojokkan satu target semata, tetap menarik dan mutlak benar.

Stigma ini diharapkan menjadi cara mudah menggantikan money politic dan intimidasi dalam penggiringan opini demi menyingkirkan rival dan kontestan lain. Penggempuran fasis dan tak fair ini seolah tidak efektif bila tidak terlihat kasar dan sadis sehingga seakan absah untuk dibumbui bahkan dikemas dengan rasisme dan ujaran kebencian etnis. Sebelum “politik identitas”, masyarakat telah dijejali dengan stigma sesat yang cukup efektif mengepung sebuah kelompok keyakinan yang kecil dalam isolasi dan diskrimasi.

Salah satu narasi yang diulang-ulang adalah politik identitas. Menurut wikipedia, politik identitas (perjuangan politik demi mempertahankan hak konstitusional kelompok agama, suku dan sebagainya) tidak niscaya buruk dan tidak otomatis baik. Kebaikan dan keburukannya ditentukan dari cara, proses dan norma yang disepakati, tidak identik dengan person, kelompok tertentu.

Pada fakta di atas pentas politik nasional yang dinamis, hanya ada dua arus tendensi politik, agama (Islam) dan nasionalisme, meski secara rasional dikotomi ini tertolak. Namun, pengalaman historis membuktikan bahwa dua arus yang dikesankan berlainan bahkan kontradiktif ini tidak baku dan rigid. Tak jarang kelompok politik yang menepuk dada sebagai nasionalis saat kontestasi berlangsung berusaha mencitrakan simbol agama, safari pesantren, menyantuni panti asuhan yatim, pakai kerudung, baju koko, bahkan merangkul kelompok agama garis keras. Yang islamis pun meneriakkan nasionalisme dengan mengobral teks agama tentang cinta Tanah Air, dan sebagainya.

Dalam konteks demokrasi, tidak ada yang salah berpolitik dengan mendasarkan pada identitas tertentu, selagi tetap dijalankan dalam koridor konstitusi dan tidak menabrak aturan perundang-undangan. Yang salah dan tidak dibenarkan adalah memilih atas dasar pertimbangan agama atau etnis sembari menjelek-jelekan agama atau etnis lain, mengabaikan toleransi.

Yang di trotoar, yang bukan bagian dari lingkaran elit juga tak keciprtatan apapun dari deal-deal di ruang-ruang khusus, santai azaaaa!