Politik Nuklir Iran
Oleh :
Dachlan Abdul Hamied
Mantan Dubes RI untuk Irak, Lektor Kepala di FE UNTAR Jakarta
Perang urat syaraf bisa saja menjadi perang senjata antara Amerika Serikat plus negara Barat lainnya dengan Iran sepanjang tidak ada kesadaran untuk duduk bersama membongkar persoalan mendasar secara jujur. Di bawah ini, penulis mencoba membagi-bagi persoalan didasarkan pada pengamatan, pengalaman, dan perkembangan yang terjadi di wilayah Timur Tengah.
Kalau mau membereskan dan mengamankan dunia secara menyeluruh, maka sepatutnya setiap negara ditempatkan pada tingkat kesejajaran sebagai negara berdaulat. Kalau Iran dianggap negara penghambat arus yang disetir kapitalisme melalui globalisasi, maka perbedaan seperti ini harus dihargai sebagai kenyataan kultur hidup sesuai dengan perkembangannya. Kemudian, kalau ada tingkat kemajuan teknologi yang dianggap membahayakan, harus diukur melalui penilaian objektif dan jujur, jangan sampai terulang kembali kejadian di Irak. Irak dihancurkan dan dirobek-robek dengan tuduhan yang tidak bisa dibuktikan kesalahannya. Kalau mau adil, penuduh dan penghancur harus diseret ke pengadilan internasional.
Dunia menyaksikan bahwa nilai keadilan paham jahiliyah hanya didasarkan pada keputusan pemegang kekuasaan dan kekuatan dengan cara fitnah, membunuh, dan mengeksploitasi dunia secara bebas. Jadi, jika kebijakan Amerika Serikat plus pengekornya menyatakan bahwa Iran menjadi sasaran gempuran berikutnya dengan tuduhan perekayasaan industri nuklir untuk persenjataan yang selanjutnya menjadi kenyataan, tanda-tandanya telah dimulai yaitu menggunakan pola dan cara-cara sebelumnya. Gaya-gaya seperti ini sebetulnya sudah basi kalau mereka bercermin dengan kaca yang baik. Kalau bercermin dengan kaca yang sudah remuk, maka penghancuran Iran akan menjadi kenyataan yang pada gilirannya berimplikasi negatif secara luas.
Irak, Afghanistan, Palestina, Lebanon plus Libia dan Suriah akan selalu menjadi gonjang-ganjing negara-negara Barat, sepanjang ada unsur pimpinan yang mengahalangi arus kapitalisme plus kolonialisme. Kemauan Barat adalah seluruh negara diharuskan membungkuk-bungkuk dan dijadikan sebagai bagian dari negara jajahan. Dunia menyaksikan bahwa setelah terkoyak-koyaknya negara berpaham sosialis/komunis, maka sasaran penghancuran lebih luas adalah Timur Tengah. Secara geopolitik dan geoekonomi negara-negara tersebut merupakan sumber potensial bagi pundi-pundi kapitalisme. Iran yang menjunjung tinggi nilai manusia secara fitri bertabrakan dengan prinsip dan nilai-nilai Barat. Dengan sendirinya Iran akan menjadi bulan-bulanan, walaupun argumentasi Barat tidak berkenan dalam pikiran-pikiran yang logis.
Amerika Serikat plus pendukungnya selalu gagal setiap menangani persoalan di berbagai belahan dunia. Artinya, kalau ada niat untuk perdamaian, menghantarkan kesejahteraan, demokrasi berjalan dengan baik, hak-hak asasi manusia dihargai, lingkungan terjamin dengan baik, maka mereka telah gagal total dalam menjalankan misinya. Contoh konkretnya, di Vietnam negara adidaya ngacir. Palestina dan Israel walaupun negara tersebut bukan negara besar, pada dasarnya Amerika Serikat tidak berdaya melakukan sesuatu, malah saban hari di Palestina mengalir darah-darah anak manusia. Masuk ke Afganistan tahun 2002 sampai sekarang, berapa ratus dan juta manusia yang telah terbunuh dan nyatanya masalah internal negara tersebut tidak bisa terselesaikan. Apalagi Irak, empat ribu tentara AS terbunuh dan dua juta nyawa rakyatnya melayang.
Sementara ini, di Amerika Serikat sendiri popularitas Presiden George W Bush semakin merosot dan teman-teman dekat di pemerintahannya banyak yang sudah mengundurkan diri. Namun demikian, masih dipertanyakan, apakah Amerika Serikat dengan perubahan presiden kemudian akan mengubah kebijakan luar negerinya? Penulis masih ingat, sejak Irak diembargo, setiap pertengahan bulan Januari mulai tahun 1992 sampai tahun 2000, Baghdad selalu digempur bom-bom yang dikendalikan dari laut Persia. Mereka melakukan pemboman sebagai ulang tahun penghancuran Irak pertama ketika negeri tersebut masuk ke Kuwait.
Perlu dipahami bahwa kekuatan militer Iran bisa dikatakan mendominasi kekuatan di Timur Tengah. Perang delapan tahun dengan Irak yang dibantu negara-negara Arab dan di belakangnya ada juga Amerika Serikat, tidak mundur setapak pun. Berarti, Iran mempunyai kekuatan prima. Jika tentara Amerika Serikat dan sekutu masuk ke darat akan lebih berbahaya, dan korbannya akan lebih banyak.
Langkah naif
Israel, bagaimanapun juga adalah anak emas yang manja 'polisi dunia'. Apa pun maunya pasti diladeni secara maksimal. Persenjataan pemusnal massal ada pada dirinya dan itu tidak akan diganggu. Negara ini adalah basis kekuatan sebagai kepanjangan tangan adidaya dalam menguasai wilayah Timur Tengah. Irak dan Iran telah terjebak perang psikologis. Memang propaganda kekuatan sebagai hal yang sah-sah saja, tapi konsolidasi internal secara sempurna sangat diperlukan.
Perselisihan Syiah dan Sunni semakin tajam, padahal dalam runtutan sejarah dan sumber ajarannya tidak ada perbedaan yang signifikan. Ketika penulis bertemu dengan diplomat dari Timur Tengah yang berbeda yakni Sunni dan Syiah, masing-masing menceriterakan nuansa politik yang bertolak belakang dan mereka saling menuduh sebagai sumber kekacauan. Pandangan dan langkah seperti itu sungguh naïf dan sangat mudah untuk diadu domba.
Persoalan Iran tidak lepas dari kondisi regional Timur Tengah. Pengaruh Iran di Irak, Lebanon, Suriah, Afghanistan dan Pakistan memang signifikan. Organisasi Konfrensi Islam (OKI) sebetulnya bisa berbuat, asalkan ada kemauan menyusun strategi yang berangkat dari nilai-nilai yang hakiki. Dengan niat dan pemberangkatan yang sama, model-model penjajahan Barat bisa dieleminir melalui suara dan kebijakan yang sama di fora internasional. (Republika)