Beberapa hari lalu saya sempat bersilaturahmi dengan beberapa teman di Cirebon. Di antara mereka ada orang yang baru saya kenal. Dia penampilannya, terlihat seperti juru azan di masjid atau tukang gali kuburan. Ternyata dia seniman yang akan mengambil bagian dalam pentas seni Bubur Suro II di yang akan diadakan pada Sabtu 8 Januari 2011 mendatang. Ada yang menarik soal sosok seniman ini.
Di Ciayumajakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan), nama Ponimin tidaklah asing, baik bagi masyarakat maupun seniman, khususnya seniman tari kontemporer. Lelaki kelahiran Yogyakarta, 1 Juni 1969 itu sering membuat kejutan pada karya-karya tarinya. Bahkan, sering kali dianggap tidak lazim bila dikaitkan dengan ukuran kepatutan dari pementasan seni. Misalnya, ketika Ponimin bersama anak-anak asuhannya di Sanggar Tari "Puser Langit", menari di gundukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Argasunya, Harjamukti, Kota Cirebon. Alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tahun.
1994 itu harus bergelut dengan kotoran dan bau menyengat sampah."Saya dianggap tidak waras. Menurut ukuran kewarasan, saya dianggap gila. Tetapi itulah seni. Seni itu mutlak merupakan ekspresi seni-mannya. Oleh karena itu, ketika pentas menari, saya tidak butuh penonton. Biar tidak ada penonton, saya tetap menari.
Inilah esensi seni yang merupakan bentuk dari ekspresi se-nimannya," tutur Ponimin yang saking setianya pada seni tari, sampai-sampai memilih tinggal di sudut belakang markas sanggamya atau halaman sayap kanan Gedung Kesenian Cirebon di areal Stadion Bima, Kota Cirebon.
Pendiriannya itu menggiring Ponimin menelurkan banyak pementasan tari fenomenal. Selain pentas di TPA, dia bersama anak-anak asuhannya juga pernah pentas dengan mandi lumpur, menerjunkan diri di sungai, di antaranya di Sungai Cimanuk pada pementasan di Indramayu.