POSISI DZURRIYAH DALAM KOMUNITAS SYIAH

POSISI DZURRIYAH DALAM KOMUNITAS SYIAH
Photo by Unsplash.com

Banyak orang salah paham tentang Syiah. Karena membawa nama Ahlulbait, banyak orang mengira mazhab Syiah dan komunitasnya memuja orang-orang yang dikenal atau mengaku sebagai keturunan Nabi SAW sebagaimana umumnya masyarakat Sunni, terutama pengikut mazhab Syafii.

Masyarakat Sunni di Indonesia, terutama kaum Nahdiyin, dikenal sangat menghormati dan mengistimewakan Ahlulbait karena banyak teks suci menganjurkan hal itu. Karena itu mereka menghormati siapapun yang mengklaim dirinya sebagai Ahlulbait dengan sangka baik bahkan kerap tanpa pilih-pilih.

Padahal dalam doktrin mazhab Syiah, Ahlulbait dalam pengertian prima adalah sebutan utama bagi 5 manusia dan 11 imam setelah Ali bin Abi Talib.

Kedzurriyahan, kehabiban, kealawiyan, kesayidan dan kesyarifan bukanlah prestasi dan bukan hak istimewa, namun karunia yang harus dirawat dengan perilaku yang baik bahkan keteladanan.

Di luar komunitas Syiah, sayyid dan habib dengan hak istimewa bisa dinikmati tanpa standar yang tegas.

Singkatnya, polemik seputar otentik dan tidaknya nasab orang yang mengaku keturunan Nabi SAW dari jalur manapun adalah efek dari perlakuan dzurriyah (keturunan Ahlulbait) sebagai Ahlulbait.

Dalam komunitas Syiah, polemik semacam itu tak terjadi karena memang memperlakukan dzurriyah sama di hadapan hukum seraya tetap menghormati penyandangnya secara rasional dan proporsional.

Para sayyid yang menganut mazhab Syiah adalah orang-orang yang tak mengklaim keunggulan apalagi kesucian. Mereka rela tidak mendapatkan hak-hak istimewa sebagaimana bisa dinikmatinya bila tak menganut mazhab Syiah, terutama bila hidup di sentra-sentra otoritas tradisional alawi di sejumlah kota di Indonesia karena mereka telah mengembalikan hak istimewa kesucian kepada orang-orang khusus yang telah menerima tugas mengawal agama, yaitu Ahlulbait dan Itrah.

Komunitas Syiah di Indonesia, terutama yang terlahir sebagai habib tak merasa menjadi partisipan dalam kegaduhan dan perang konten video seputar nasab, apalagi sebagian besar orang-orang yang getol memajang gelar habib dan aktif sebagai pendakwah bersikap intoleran terhadap Syiah, meski tetap menyesalkan polemik yang beraroma black campaign tersebut.

Dengan kata lain, sumber polemik ini adalah paradigma teologi masayarakat sunni terhadap terma ahlul bait. Lalu saat ada oknum "ahlul bait" yang buruk, reaksi ekstrem dari sebagian pecinta "ahlul bait" pun bermunculan dengan intensitas yang gradatif.Yang paling ekstrem adalah penggugatan keabsahan nasab para "ahlul bait", dan framing rasial bahwa mereka merupakan "pengungsi tak tahu diri", antek-antek penjajah Belanda dan ujaran jahat lainya. Para mantan pecinta "ahlul bait" ini benar-benar terbutakan oleh kemarahan dan kebencian sehingga mereka menafikan fakta bahwa "ahlul bait" merupakan bagian integral dari bangsa Indonesia. Para ekstremis itu lupa bahwa tak sedikit tokoh "ahlul bait" yang berjasa bagi negara dan bangsa, yang berperilaku terhormat secara sosial dan spiritual.

Tapi yang agak mengusik adalah pernyataan salah seorang habib yang, saat membantah pernyataan kyai yang meragukan ketersambungan nasab alawiyin, menuduh Syiah mencetak karya yang meragukan otentisitas nama Abdullah (Ubaidillah ) sebagai putera Ahmad bin Isa Al-Muhajir.

Membantah pernyataan yang meragukan otentisitas nasab para alawiyin dengan mengkambinghitamkan Syiah adalah cara bodoh yang justru menjadi indikator kepanikan dan ketidakmampuan membantah dugaan pemalsuan nasab. Mestinya pembantah mematahkan dugaan pemalsuan silsilah itu dengan data yang valid, referensi yang kredibel dan argumen yang kokoh. Yang lebih parah adalah membantah tuduhan nasab palsu dengan pidato provokatif yang hanya mengandalkan retorika apologetik.

Terlepas dari itu, berbekal puluhan literatur buku nasab yang tersimpan rapi dalam khazanah Syiah, komunitas Syiah melalui para tokoh ulama dan intelektualnya sangat percaya diri untuk mematahkan tuduhan nasab terputus para alawiyin meski itu bukanlah prioritasnya. Masalahnya, kedua pihak yang berpolemik sama-sama resisten terhadap Syiah, sehingga sangat mungkin referensi kalangan ahli nasab dari kalangan Syiah berupa karya-karya klasik dan tertahqiq ditolak. Namun, sebanyak apapun referensi yang dihadirkan untuk membantah narasi memfiktifkan Ubaidillah sebagai putera Ahmad Almuhajir, bila tujuan di baliknya adalah mengucilkan warga dari keturunan Ubaidillah demi memenuhi dahaga kebencian rasial, maka pengaruhnya tak siginifikan. Daur waktu yang akan menyelesaikannya.

Setiap manusia, dari keturunan siapapun kelak di akhirat harus membawa buku amal, bukan buku nasab. "Setiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya,." (Al-Muddatstsir :37)

Read more