Skip to main content

2 hari lalu saya dan beberapa teman diberi kesempatan berjumpa dengan tamu besar, seorang rohaniawan juga akademisi terkemuka dari Iran, Prof. Ayatullah Mahdawi Mehr, mantan deputi rektor Universitas Internasional Al-Mustofa yang didampingi seorang cendekiawan lain (yang saya lupa namanya) di rumah Hojjatul Islam Dr. Majeed Hakim Ilahi, direktur Islamic Cultural Center.

Di sela perbincangan ringan, saya memohon izin mengajukan pertanyaan kritis seputar apa yang terjadi belakangan ini di Iran.

Setelah diperkenankan, saya bertanya dalam bahasa Arab sebagai berikut : “Dalam Islam banyak kewajiban yang lebih utama dari mengenakan hijab, antara lain shalat. Namun di Iran tidak ada peraturan kewajiban melaksanakan sebagaimana diberlakukan di Arab Saudi. Pertanyaan pertama : mengapa pemakaian jilbab diundangkan dan ditetapkan oleh Negara sebagai peraturan? Kedua : adakah kemungkinan Negara RII mencabut peraturan wajib mengenakan hijab bagi para wanita demi kepentingan stabilitas dan mengantisipasi propaganda negatif pihak-pihak kontra RII?”

Beliau membenahi posisi duduknya di sofa, lalu menjawab, “Memang benar, dalam jurisprudensi (hukum agama, Syariah) shalat adalah kewajiban utama. Negara RII pun tidak memberlakukan peraturan kewajiban melaksanakan shalat dan tidak menetapkan hukuman atau sanksi atas warga yang tak melaksanakannya. Hal yang perlu diperhatikan dan dikomparasikan adalah aspek dan efek sosial shalat dan pemakaian jilbab (menutupi aurat) bagi wanita.

Saya mengambil buah manggis yang terhidang di meja depan dan tangan saya aktif membuka kulitnya sambil tetap menghadapkan paras dengan mimik serius menanti lanjutan ulasannya.

Dia melanjutkan, “Itu artinya, ada dua jenis kewajiban berdasarkan area pelaku, yaitu kewajiban personal dan kewajiban sosial. Pemakaian jilbab (menutup aurat bagi wanita) di ruang publik merupakan kewajiban sosial. Sedangkan pelaksanaan shalat merupakan kewajiban personal. Tak shalat, tak memberikan efek sosial negatif secara langsung. Namun terbukanya tubuh wanita di ruang publik secara nyata menimbulkan efek sosial. Nah kewajiban yang berpengaruh terhadap orang lain dalam ruang inilah yang ditetapkan sebagai peraturan. Disebut pemerintahan Islam tak berarti semua yang wajib dalam teks dan jurisprudensi (fikih) otomatis jadi peraturan, tapi karena otoritas tertinggi dalam konstitusi adalah faqih (agamawan yang dan dipilih oleh mayoritas anggota Dewan agamawan yang dipilih secara demokratis secara langsung oleh rakyat Iran, disebut secara populer “rahbar” yang berarti pemimpin).

Saya terdorong untuk menyela setelah memberi isyarat permohonan izin dengan pertanyaan :

“Apa dasar jurisprudensial penetapan sebagian kewajiban dalam fikih, seperti pemakaian jilbab bagi wanita? Bukankah peraturan kewajiban pemakaian jilbab bagi para wanita di ruang publik berarti pemaksaan?

Beliau menjawab, “Ada dua macam hukum dalam jurisprudensi Ahlulbait, yaitu hukum primer dan hukum sekunder. Yang pertama hukum primer adalah hukum yang ditetapkan oleh sumber utama agama, Al-Quran dan Sunnah. Kedua adalah hukum sekunder hukum yang ditetapkan sebagai undang-undang dan peraturan oleh pemegang kewenangan keagamaan tertinggi (yang telah disepakati melalui referendum sebagai otoritas tertinggi dalam konstitusi Negara RII) karena pertimbangan kontekstual, terutama kepentingan umum demi mengantisipasi dampak sosial yang negatif.

Beliau berhenti sejenak lalu mengambil manggis kecil dan menikmatinya meski matanya terus tertuju kepada saya seolah memberi isyarat akan melanjutkan penjelasan. Saya dan teman saya, ustadz Beik, saling bertukar senyum sebagai pertanda setuju diskusi dilanjutkan.

“Karena didasarkan pada pertimbangan aspek sosial, peraturan wajib memakai jilbab bagi wanita di ruang dalam teritori negara RII sulit dicabut. Namun, yang boleh bahkan mesti diubah adalah pola penegakannya. Harus diakui, dalam beberapa kasus di lapangan ada oknum sejumlah petugas penegak hukum kewajiban pemakaian jilbab melakukan kesalahan dan melakukan tindakan yang melampaui kewenangannya. Harus diakui pula, prosedur penegakan hukum wajib berjilbab ini perlu ditinjau ulang dan diubah dengan penyesuaian kontekstual, misalnya metode yang terkesan represif (pendekatan hukum) diubah dengan metode dan pendekatan persuasif dan edukatif.

Seandainya peraturan ini dicabut, selain pasti menimbulkan dampak sosial yang destruktif, akan digunakan oleh anasir kontra RII yang sebagian besar menjalankan misi pihak asing untuk menuntut lebih dari itu. Faktanya, aksi kerusuhan dan teror ini bertujuan mengubah sistem negara yang merupakan hasil referendum setelah tumbangnya rezim kerajaan Pahlevi pada tahun 1979. Inilah garis merah yang tidak bisa dilanggar.

“Lalu apa solusi alternatif atas situasi ini?” tanya saya.

“Pembenahan manajemen dan perbaikan kinerja Pemerintah, terutama dalam bidang ekonomi yang bisa meringankan beban ekonomi masyarakat akibat embargo ekonomi dan pembekuan aset negara oleh AS.

Waktu sudah larut. Salah satu tamu terlihat berjuang melawan kantuk.

Saya mengajukan pertanyaan terakhir : “Apakah peraturan wajib berhijab ini akan selalu ditentang oleh sebagian rakyat?”

“Ada pepatah umum, manusia pada umumnya cenderung melanggar sesuatu yang sudah dijalani dengan sukarela setelah dijadikan peratutan. (Hukum dibuat untuk dilanggar, mungkin begitu, maksudnya).

Menurutnya, pada dasarnya peraturan wajib jilbab bagi wanita di Iran tak berbeda dengan peraturan-peraturan lain di negara-negara lain, yang pasti dilanggar oleh sebagian orang. Namun, penentangan sebagian orang terhadap sebuah peraturan bukan alasan logis untuk mengubah dan mencabutnya karena dalam fakta objektif jumlah warga yang menerima jauh lebih banyak. Namun, karena posisi dan peran geopolitik Iran saat ini, persoalan domestik sebuah negara berdaulat ini ditarik ke persoalan HAM oleh AS dan pihak-pihak kontra RII dan sejumlah orang yang merasa terlalu pandai untuk mau mempelajari dengan seksama dan bebas dari stereotipe subjektivisme.

Meski masih tersimpan beberapa stok pertanyaan, saya harus menyudahi dialog ini karena alasan waktu yang tidak memadai. Saya ucapkan terimakasih dan permohonan maaf atas gangguan pertanyaan-pertanyaan bodoh yang saya ajukan. Dia pun membalas dengan ucapan terimakasih. Acara ditutup dengan makan malam masakan khas Iran. Yummy!