"PRILANGIT"

"PRILANGIT"

Selain Syiah tak meyakini Ahlulbait sebagai 5 Ahlul Kisa dan 9 imam putra Al-Husain (itrah). Keyakinan ini menjadi dasar utama kesyiahan yang membedakan Syiah dari Sunni.

Kalau non Syiah memberikan pernyataan yang tidak sama dengan keyakinan Syiah tentang pengertian eksklusif Ahlulbait, misalnya bahwa Nabi tidak menetapkan salah satu anggota Ahlulkisa' dan Ahlulbait, yaitu Ali sebagai pemimpin penerusnya dan bahwa Ahlulbait bukan hanya Ahlukisa' dan bahwa Itrah 9 imam dari keturunan Al-Husain bukanlah manusia-suci dan bukan pemegang otoritas mutlak atas umat hingga akhir zaman  atau  bahwa hak istimewa bukan hanya ada pada 14 manusia suci, yaitu Nabi SAW, Fatimah puterinya, Ali, Al-Hasan dan Al-Husain dan 9 dari anak Al-Husain  merupakan konsekuensi takwini kesucian dan bahwa mereka bukanlah sumber agama setelah Nabi sangatlah wajar. Itulah dasar keyakinan kesunnian yang membedakannya dari Syiah.

Bila seseorang non Syiah tiba-tiba membuat pernyataan bahwa Ahlulbait hanya 5 Ahlulkisa' dan 9 manusia dari keturunan Al-Husain seraya tetap mengaku sebagai sunni, sebagaimana keyakinan Syiah, maka itu tidak wajar, karena meyakini Ahlulbait sebagai 5 Ahlulkisa' dan 9 imam dari Al-Husain berarti menolak otoritas vertikal selain Ahlulbait dan 9 imam putera Al-Husain yang tentu tidak diimani oleh non Syiah.

Dengan kata lain, mestinya pernyataan tentang kesucian selain Nabi, terbatasnya hak istimewa berupa otoritas sakral yang ditetapkan Nabi SAW dan kesucian itu hanya dianugerahkan kepada Ahlulbait tidak dilontarkan oleh yang tak meyakini otoritas vertikal selain Ahlulbait dan itrah. Mestinya pernyataan tentang perbedaan mishdaq Ahlulbait dengan dzurriyyah dari jalur nasab manapun hanya dilontarkan oleh yang berfikih dengan ajaran Imam Sadiq.

Pernyataan beberapa orang non Syiah yang sama dengan keyakinan orang-orang Syiah tentang terbatasnya  pengertian Ahlulbait , paling tidak, menimbulkan tanda tanya tentang tendensi di baliknya.

Yang pasti pernyataan itu bukanlah pernyataan teologis atau pernyataan konversi mazhab karena pelontarnya bukanlah Syiah bahkan selalu mengaku sebagai sunni. Tendensinya adalah memenuhi adrenaline dendam akibat kecewa tak dikonfirmasi kesayyidannya oleh sebuah lembaga yang dikira otoritatif melantik siapapun yang ingin dapat penghormatan gratis tanpa sertifikat kredensi dan karya akademik dengan index jurnal internasional sebagai manusia ningrat alias tak setara dengan lainnya hanya dengan modal aneka panggilan narsistik seperti sir, lord, paduka, pangeran, sayyid, syarif, habib, ndoro dan sebagainya dengan membangun opini yang mengesankan tuntutan kesetaraan.

Lucu, teriak-teriak mendeklarasikan keturunan para pendakwah dari Asia Barat dan Asia Timur tapi mengaku penduduk paling aseli. Mendaku prilangit juga mengaku pribumi. Bergaya hidup feodalis dengan longdress ketakwaan juga bicara kesetaraan. Yang aneh, menuduh rival petahana dalam duel nasab sebagai komunis padahal aliran cetusan om Marx justru kontra tuduhan antek kumpeni yang bergaya feodalis. Ironi-ironi disuguhkan dalam gelombang algoritma post truth yang tak memberi jeda demi menguasai croc brain tanpa secuil empati. Sok anti budaya Arab sambil memamerkan lilitan kain di batok kepala. Mengaku nasionalis tapi blepotan saat berbicara dengan Bahasa Indonesia. Menulis buku dengan bahasa Arab seolah publik sebangsa bukanlah pembaca penting.

Isu nasab dan semua narasi kebencian sejak 2 tahun belakangan ini hanyalah tabir kompetisi sengit dua komplotan demi memperebutkan previlige dan kuasa kultural atas pasar konsumen relijiusitas nirlogika  yang mengira dzurriyah adalah posisi istimewa setara Ahlulbait yang suci. Kedua gerombolan ini sama-sama gila hormat, sama-sama feodalis dan jualan dongeng keramat dan kewalian sembari menjajakan nama tokoh-tokoh agung Ahlulbait dalam lembar silsilah yang tidak pernah dikutip pernyataannya dalam kitab-kitab yang dipelajarinya dan dalam ceramah-ceramah yang disampaikannya.

Terlepas dari itu semua, menafikan klaim kesucian dan privilege sebagai Ahlulbait dan perilaku negatif dan pernyataan ngawur  beberapa individu yang mengeksploitasi nama suci Ahlulbait, perlu dilakukan dan didukung, tapi penafian eksistensi historikal Baalwi, apalagi disertai narasi rasisme, tuduhan pengkhianat, stigma semacam antek penjajah, PKI dan aneka stereotiping negatif yang ditimpakan atas satu komunitas kecil di tengah mayoritas (seolah semua anggotanya jongkok di atas klaim keunggulan, seolah tak ada bayi, tak ada wanita, tak ada yang hidup terlunta-lunta dan semuanya adalah manusia-manusia biadab) yang terus diprovokasi dengan ragam framing sadis tanpa pilih dan pilah adalah kejahatan sistematis dan gnosida identitas yang perlu ditentang karena nyata melanggar semua norma dan etika serta nilai  kemanusiaan, keagamaan, keislaman, kebangsaan dan akal budi.

Tak perlu jadi sufi untuk memastikan bahwa setiap kata yang mencabut ketenangan seorang hamba adalah dosa horisontal yang takkan bisa dihapus dengan taubat semata.

Lihatlah anakmu pada setiap bocah, niscaya kau menyayanginya. Lihatlah ibumu pada setiap wanita, niscaya kau melindunginya. Lihatlah ayahmu pada setiap pria, niscaya kau menghormatinya. Empati adalah inti kemanusiaan.

Orang yang adil tak sudi disanjung juga pantang dirundung.

Read more