"PRILANGIT" (2)

"PRILANGIT" (2)

Sebenarnya kisruh nasab, sebagaimana telah disinggung dalam tulisan sebelum tulisan ini, mengungkap siasat para penguasa dua dinasti dalam sejarah umat Islam yang mendegradasi Ahlulbait dan Itrah (figur-figur agung para imam) agar kehilangan posisi sakralnya sebagai mandataris Nabi dan Ali juga mengaburkan objek faktual wejangan-wejangan Nabi yang telah mencapai level tawatur dan syuhrah dengan modus mengekspansi makna (mafhum) dan terapan (misdaq)nya hingga mencakup setiap orang yang diakui dan dikenal sebagai dzurriyah.

Siasat degradasi sistematis dan pengaburan yang intensif ini sukses menciptakan fakta yang ambigu dan paradoksal sebagaimana diujar dalam adigium Arab "اختلط الحابل بالنابل" atau  "to mix the crow with the rope". Adagium ini melukiskan ribuan burung srigunting yang dicampur dengan beberapa ekor burung walet. Meski srigunting bermanfaat dan punya nilai, mencampurnya dengan walet hingga semuanya terlihat di mata banyak orang sebagai kawanan walet yang bernilai sangat tinggi atau semuanya terkira sebagai kawanan srigunting yang fak sebernilai walet adalah kezaliman.

Meski banyak individu baik, mensejajarkan masyarakat umum pada masa hidup Nabi (yang disebut para sahabat) dengan beberapa individu penghuni rumah (zaman sekarang dicantumkan dalam Kartu Keluarga) yang menjadi peserta utama pendidikan intensif Nabi dalam radius terdekat dan dalam interaksi terlama, apalagi menggesernya lebih rendah dari selain mereka, terlalu bopeng untuk dibedaki dengan aneka kosmetika justifikasi seraya tetap memberikan kredit dan diskret secara proporsional kepada setiap individu sesuai kiprahnya masing-masing.

Itulah mengapa sebagian yang terlalu nyaman dengan "kuningan mendadak emas" ini menentang secara gigih keberadaan sebuah kelompok yang mengiminani pengertian eksklusif Ahlulbait dan memastikan kesucian mereka bukanlah semata-mata privilege dalam penyanjungan umat, melainkan karena otoritas vertikal yang dimandatkan oleh Nabi sebagai sumber hukum setelah Nabi juga prototipe atau model dan hasil pendidikannya.

Kesucian bukanlah pemberian gratis tanpa tanggungjawab dan risiko yang sepadan, tapi merupakan konsekuensi niscaya fungsi Ahlulbait sebagai one gate system ajarannya demi mengantisipasi multi interpretasi dan manipulasi serta distorsi. Karena itulah, mereka berada di garda terdepan dalam pengorbanan, yang pertama dalam duka, dan terakhir dalam suka. Epos Karbala sebagai gerakan resistensi kaum pinggiran terhadap oligarki politik jorok dan pseudo agama.

Kesucian bukanlah kultus dan pengagungan "manusia", dan, karenanya, tidak bisa dicomot sembarang orang dengan modal klaim dan seperangkat produk industri tekstile.

Dalam khazanah biblikal dan tradisi gereja, kekudusan dan kesucian memiliki makna yang penting dan mendalam.

Kekudusan (atau "holy" dalam bahasa Inggris) mengacu pada kesucian, kemurnian, dan kesakralan yang terkait dengan karakter dan sifat Allah. Dalam tradisi gereja, kekudusan dan kesucian dipandang sebagai tujuan akhir bagi umat untuk mencapai kebersekutuan dengan Allah. Kekudusan dan kesucian menjadi bagian integral dalam perjalanan spiritual umat Kristen menuju keselamatan dan keberadaan bersama dengan Allah.

Santo (atau saint dalam bahasa Inggris) adalah predikat bagi orang yang diakui oleh Gereja sebagai orang-orang yang telah mencapai status kekudusan tertinggi. Dia diduga telah hidup dalam kesucian, berperilaku sesuai dengan ajaran agama, dan memberikan teladan yang baik bagi umat. Pengakuan santo dalam teologi gereja memiliki beberapa makna dan fungsi penting. Salah satunya adalah bahwa Santo dianggap sebagai teladan hidup yang patut ditiru bagi umat Kristen.

Meskipun pengakuan santo adalah praktik yang spesifik dalam Gereja Katolik, beberapa denominasi Kristen lainnya juga menghormati dan mengakui orang-orang saleh atau tokoh-tokoh iman yang dianggap telah mencapai kesucian yang tinggi.

Begitu pentingnya doktrin kesucian sebagai pembeda dengan budaya yang profan, pelantikan "orang suci" menjadi seremoni penting dalam teologi dan tradisi gereja sebagai proses formal dinyatakannya seseorang sebagai santo atau santa oleh otoritas gereja.

Andai makna kesucian dengan segala gradasi hierarkisnya juga fungsi dan konsekuensinya tertanam sebagai sebuah traktat dan klausa yang baku dan terhormat, mungkin kita tidak akan menemukan di tengah kita femomena paradoksal "orang suci" justru menjadi penganjur anti kesucian. Kita tidak akan menemukan seruan untuk ikut kepada “orang suci” sementara orang sucinya justru melanggar batas-batas kewarasan hingga membuat sebagian orang cerdas dan kritis tiba-tiba downgrade untuk jadi sinis dan rasis.

Yang pasti, tetangga sebelah punya konsep kesucian yang lebih berkelas dan umatnya lebih tertib, tak berisik dan tak gaduh berebut nasab Imam Jakfar dan Imam Kazhim, tapi tak tahu apa-apa soal ajarannya atau tak mengutip satu hadis dengan sandanya.

Akhirnya, seningrat apapun silsilah seseorang, seotentik apapun nasabnya, dan sewali apapun moyang dan leluhurnya, tetap saja yang menjadi parameter adalah perbuatannya.

فَاِذَا نُفِخَ فِى الصُّوْرِ فَلَآ اَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَىِٕذٍ وَّلَا يَتَسَاۤءَلُوْنَ

 "Apabila sangkakala ditiup maka tidak ada lagi nasab-nasab di antara mereka pada hari itu (hari Kiamat), dan tidak (pula) mereka saling bertanya. (QS. Al-Mu’minun: 101).

Andai mengenal Ahlulbait, tentu siapapun malu dipanggil Ahlulbait dan diperlakukan sebagai manusia-manusia suci. Mereka mestinya berlomba untuk menjadi pengikut Ahlulbait, bukan meniru dua kawanan musang yang memperebutkan tahta di savana Serengeti yang sudah menjadi milik abadi para singa. Ali bin Abi Talib, kader par excellent Nabi termulia cukup bangga menjadi salah satu hamba Muhammad SAW, "انا عبد من عبيد محمد"

Read more