Skip to main content

Manusia modern dimanjakan dengan teknologi dan peradaban sains yang angkuh dan megah. Pada fase pertama teknologi komputer lalu smartphone dihadirikan dan internet menjadi oksigen kedua, aneka OS dan program diciptakan. Tak hanya itu, virus pun disebar disusul aneka program anti virus pun berkecambah.

Kini manusia modern harus membayar kemudahan itu dengan kecemasan. Virus bukanlah makhluk modern yang baru muncul, tapi dicerdaskan dan bermutasi berkat sains yang dipuja karena mengakhiri agama dan mitos.

Sains dan teknologi hanya dinikmati oleh segelintir produsen rakus dan dinikmati oleh umat konsumen pemalas pemburu simulakrum. Sedangkan kecemasan dan kesengsaraan akibat pandemi virus ini mencekam semua penghuni bumi. Ia tak memilih korban, kaya atau miskin, relijius atau agnostik, di desa maupun di sentra-sentra peradaban modern.

Kini dunia nyata yang bebas algoritma dirindukan. Norma yang dijungkirbalikkan oleh aneka paltform dengan fitur-fitur yang terus dikembangkan diimpikan lagi. Manusia modern baru sadar bahwa kehidupan mereka selama ini dikendalikan oleh mesin-mesin pencari data dan digantikan oleh robot dan Artificial Intelligence.

Berita-berita kematian dan jumlah korban yang terus bertambah menampar dinding kesadaran. Tuhan mulai diseru. Agama dan spiritualitas mulai dibincang. Masjid, gereja, kuil dan sentra-sentra ritus mulai dibanjiri.

Inilah antiklimaks kisah epik manusia yang secara dramatis menjadi tragis. Kemudahan yang memanjakan berubah menjadi kecemasan yang memenjarakan. Beruntunglah mereka yang menjadi pemberontak laksana morpheus atau mistikus yang dicemooh udik dan purba karena menjaga jarak dengan matrix demi mempertahankan humanitas dan kewarasan.

Bila tak percaya Tuhan dan tak mencemaskan fase kebangkitan, setidaknya jadilah manusia merdeka. (Al-Husain AS).