Skip to main content

(Tulisan ini hanya menjelaskan fakta relasi Syiah sebagai mazhab dan penganut dengan fakta Iran, tidak menjelaskan sikap terhadap paradigma resistensi terhadap hegemoni imperialis global yang dicita-citakan oleh Imam khomeini).

Banyak orang, penganut Syiah maupun pembencinya, tak membedakan pengertian mazhab dan negara serta relasi antar keduanya sehingga mengira Iran adalah Syiah, dan Syiah adalah Iran.

Karena itu rajin menghubungkan fenomena apapun di negeri yang bernama yang dulu bernama Pars itu dengan Syiah demi mendukungnya atau menentangnya. Padahal ia tidak berkaitan secara niscaya dan langsung dengan Syiah sebagai mazhab.

Mazhab adalah sebuah aliran koleksi pandangan atau metode memahami Islam atau ajaran-ajaran di dalamnya. Sedangkan negara adalah institusi pemerintahan di atas sebuah tempat atau kawasan darat, laut dan udara yang dihuni oleh beberapa individu yang menyepakati sebuah asas dan sistem pengelolaannya.

Relasi antara Syiah dan Iran dalam literatur ilmu logika adalah interseksi atau irisan. Sebagian penganut Syiah adalah warga Iran, dan sebagian warga Iran adalah penganut Syiah. Artinya, tak semua penganut Syiah adalah warga Iran bahkan tak semuanya adalah pengagum atau pendukung kebijakannya. Artinya pula, tak semua warga Iran adalah penganut Syiah. Sebagian warga Iran adalah Muslim Sunni, Kristen Armeni, Yahudi, Zoroasterianis.

Kesyiahan yang merupakan identitas kemazhaban, sebagaimana kesunnian dan kesalafiahan, melampaui batas teritori negara dan identitas kebangsaan, keetnisan, kesukuan dan kedaerahan karena berhimpun dalam identitas yang lebih luas, yaitu keislaman.

Di atas kemazhaban, identitatas keislaman atau kemusliman melampaui identitas kenazhaban. Sebagian Muslim adalah warga Indonesia, sebagian Muslim bukan warga negara Indonesia. Sebagian warga negara Indonesia adalah Muslim, dan sebagian warga negara Indonesia bukan Muslim. Kesamaan antara warga negara Indonesia yang Muslim dengan selain warga negara Indonesia yang Muslim adalah keagamaannya alias keislamannya.

Selain menyandang identitas keagamaan (Islam) dan kemazhaban, setiap warga negara yang bermazhab punya identitas kebangsaan dan kenegaraan. Inilah garis merah yang menegaskan bahwa setiap penganut Syiah berKTP Indonesia memandang Iran, sebagai negara sahabat yang tidak terkait dengannya secara struktural dan konstitusional sama sekali.

Gejolak politik di Iran akhir-akhir ini adalah problema domestik sebuah negara yang menjadi urusan bangsa Iran, pemerintah dan rakyatnya pada skala primer. Ini tak terkait secara langsung dengan warga negara lain meski mungkin terhubung secara interseksional dengan warga non Iran secara keagamaan (Islam) dan kemazhaban (Syiah).

Sebagaimana ditegaskan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nasir, Indonesia bukan milik satu mazhab dan negara tidak boleh condong ke satu mazhab, maka setiap individu warga negara Indonesia penganut mazhab Syiah harus menyadari, memelihara dan menegaskan identitas keindonesiaan secara intelektual dan aktual tanpa canggung sebagai elemen utama sejajar dengan warga sebangsa lainnya.

Gejolak politik tersebut, selain tak terkait dengan individu-individu bermazhab Syiah yang bukan warga Iran, tak terkait pula secara langsung dengan konten keyakinan dan ajaran agama dan mazhab (Syiah). Gejolak itu pada level utama perlu dilihat secara realistis sebagai fenomena politik, sosial, ekonomi dalam konteks konstlesai geopolitik regional dan global.

Sebagian penganut Syiah mengaitkan Iran dan semua dinamika di dalamnya juga kawasan sekitarnya dengan mazhab yang dianutnya secara teologis karena kesamaan mazhab yang dianut mayoritas warga Iran seolah dia adalah bagian dari itu secara emosional. Sikap demikian bagi sebagian penganut Syiah cukup “merepotkan”.

Sebagian lain mengaitkan Iran dan semua dinamika di dalamnya juga kawasan sekitarnya dengan visi resistensi dan ideologi anti hegemoni global sebagai cetusan spirit kebangsaan dan kendonesisaan sebagaimana dituangkan dalam Pancasila UUD. Sikap logis ini, sayangnya, tidak dipublikasi secara kolektif.

Di sisi lain, para pembenci mengaitkan Iran dengan mazhab Syiah dan penganutnya yang bukan bagian dari rakyat dan bangsa Iran demi mendiskreditkan dan menuduh semua penganut Syiah yang non warga Iran berkiblat secara politik dan struktural kepada negara dan pemerintah Iran seraya memanipulasi tafsir sejati Imamah dan Wilayah Faqih.

Meski telah dilakukan terus-menerus klarifikasi dan penjelasan komprehensif tentang posisi Wilayah Faqih sebagai otoritas keagamaan dalam teologi Syiah dan perbedaan substsnsialnya dengan posisi Rahbari sebagai otoritas kenegaraan dalam konteks konsitusi Iran, masih saja kesalahpahaman tentang ini kerap mengemuka.