Skip to main content

“Kebenaran pasti menang” juga dalam komunitas Muslim, “Islam pasti jaya” adalah pernyataan tentang keyakinan atau kenyataan?

Bila keyakinan, apakah niscaya sesuai dengan kenyatan ataukah tidak ? Bila sesuai dengan kenyataan, apakah kesesuaiannya niscaya atau tidak? Bila niscaya, apakah mutlak ataukah bersyarat kausalitas dan proses naturalnya?

Bila kenyataan, apakah kenyataan yang negatif atau tidak sesuai dengan keyakinan harus diterima? Bila diterima, tidakkah itu berarti menggugurkan keyakinan? Apa yang dimaksud menerima dan apa yang dimaksud dengan kenyataan? Apakah menerima kenyataan berarti membenarkannya? Apakah keyakinan yang benar adalah yang sesuai dengan kenyataan fisikal? Apakah kebenaran keyakinan ditentukan oleh kenyataan (korespondensi) ataukah keserasian ide-ide yang sistmatis (koherensi) ataukah ditentukan oleh cita-cita tentang kenyataan ideal sebagai konsekuensinya meski tak sesuai dengan kenyataan aktual?

Apakah agama adalah kenyataan ataukah keyakinan? Apakah institusi yang dibangun dengan prinsip-prinsip Islam adalah kenyataan Islam ataukah kenyataan produk sebuah pemahaman tentang Islam? Bila ia adalah kenyataan Islam, apakah ia sempurma dan final? Bila final, bukankah itu adalah ejawantah dari cita-cita tentang kenyataan ideal? Bila itu adalah ejawantah cita-cita kenyataan ideal, maka berarti sudah tak perlu lagi berharap tentang masa depan cerah dan kejayaan Islam?

Islam secara ontologis adalah kenyataan eksistensial immaterial, sakral, transenden dan mutlak sebagai ilmu Tuhan, dan secara epistemologis adalah kenyataan esensial intelektual (hudhuri) yang hadir dalam diri penganut.

Islam secara antropologis adalah kenyataan intelektual yang dipahami sebagai agama dan ajaran yang sesuai dengan kenyataan eksistensial Tuhan. Inilah Islam yang dikonstruksi sebagai prinsip atau sistem institusi negara atau korporasi dengan kontrak sosial oleh RII. Ia adalah produk sebuah upaya menkonstruksi masyarakat dalam sebuah sistem yang disarikan dari Islam dari jalur Ahlulbait oleh Imam Khomeini dan dilanjutkan oleh Imam Khamenei dengan penyesuaian dan perubahan dalam proses dinamis dan kontekstual demi penyempurnaan dalam konsepsi dan implementasi.

Kenyataan aktual tak selalu sesuai harapan. Kalau pun sesuai, hanyalah partikular, temporal, lokal dan tunduk kepada kausalitas, proses kosmologis dan siklus dialetika, namun itu tak menggugurkan kenyataan ideal yang akan hadir dan layak dicita-citakan.

Islam yang dirintis oleh Nabi Muhammad SAW dan dilanjutkan dalam dua model otoritas dalam fakta sejarahnya tak bebas dari kompetisi, konflik dan penyingkiran. Pihak yang dominan mengafirmasinya sebagai kenyataan yang ideal dalam generasi sahabat terutama pada masa empat khalifah lalu para khalifah dalam tiga dinasti, Umawiyah, Abbasiyah dan Utsmaniyah yang dianggap sebagai masa-mas kejayaan Islam. Sedangkan pihak yang disingkirkan tentu berpandangan berbeda tentang kenyataan itu, malah boleh jadi menganggap masa-masa para penguasa sepanjang sejarah umat Islam sebagai era kegelapan karena diwarnai ekspansi, aneksasi, genosida dan lainnya yang tidak mencerminkan kenyataan Islam yang diwahyukan oleh Tuhan dan diwartakan oleh Muhammad SAW.

Mereka tetap memegang teguh keyakinan tentang Islam, sebagai konsekuensi dari keyakinan akan kenyataan Tuhan dan kepastian janjiNya yang akan menjadi kenyataan seraya melakukan segala upaya demi menyongsong hadirnya Islam sebagai kenyataan yang benar dan sempurna.

Dalam proses upaya demi menyongsong Islam sebagai kenyataan yang benar dan sempurna, dialektika kosmologis dan sosial terus terjadi sesuai kausalitasnya. Tak perlu menghentikan kausalitas dan menolak dialetika yang merupakan hukum determinan dengan alasan merawat keyakinan karena yang diyakini pastilah Islam yang kelak akan menjadi kenyataan benderang sesuai janjiNya.

Iran yang sedang berjuang mempertahankan eksistensinya sebagai sebuah negara unik yang berdiri di atas teo-demokrasi dengan segala rintangan dan gangguan sejak berdiri 40 tahun lebih yang silam adalah karya milenial dalam perabadan Islam dan kemanusiaan yang telah sukses menorehkan prestasi keagungan bagi umat Islam tanpa meratapi khilafah-khilafah tiranik sepanjang sejarah umat Islam.

Keagungan itu justru karena pendirinya, Imam Khomeini, para kadernya yang sebagian telah wafat atau gugur dan rakyat Iran terutama para mahasiswa dan generasi muda yang berjibaku menumbangkan monarki Pahlevi yang memperlakukan rakyat sebagai kawanan budak dan tanah air sebagai properti dan warisan temurun.

Kekalahan umat Islam bersama Nabi SAW pada laga Uhud mengkonfirmasi bahwa kenyataan negatif umat tak menggugurkan keyakinan tentang Islam sebagai kenyataan eksistensial abadi dan sempurna yang menjadi alasan utama bagi mereka untuk tetap mencita-citakan dan merindukannya di masa depan.