“Dan jangan sekali-kali mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati. Justru mereka dan diberi rezeki.” (QS. Ali Imran: 169)
Teks ayat ini melawan mindset umum. Terbunuh pastilah mati. Tapi ayat ini secara tegas mengatakan bahwa orang yang terbunuh tidak mati. Ayat ini tidak hanya menampar mindset kita dengan mengatakan bahwa sebagian orang yang secara fisik mati karena terbunuh tidaklah mati. Ia tidak hanya mati, tapi hidup.
Ayat ini tidak berhenti disitu. Ia menegaskan bahwa yang tidak mati memperoleh rezeki.
Jelaslah al-Quran tidak bermaksud mengajak kita melawan logika. Tapi al-Quran mengajak kita untuk memperluas makna dan meredefinisi hidup dan mati.
Al-Husain rela hidupnya dan keluarganya berakhir dengan cara tragis karena yakin bahwa agama ini lebih penting dari dirinya dan semua yang dimilikinya.
Dia murahkan nyawanya dan keluarganya karena yakin bila Muhammad SAW menegakkan agama ini, maka yang paling bertanggungjawab mempertahankannya adalah dirinya sebelum siapapun.
Dia biarkan tubuhnya hancur diinjak puluhan kuda karena yakin bahwa Muhammad SAW ingin keluarganya berada di urutan terakhir dalam suka ketenteraman dan berada di urutan pertama dalam duka.
Dia sadar melakukan perjalanan “satu tiket sekali jalan” bersama keluarganya karena yakin ia dilahirkan, dididik dan dipersiapkan untuk menjadi bukti bahwa Muhammad SAW dengan ajarannya telah berhasil mencetak model pribadi sempurna.
Dia tahu bahwa ia akan kalah dan terbunuh. Ia melakukan perjalanan menuju kematian demi membuktikan bahwa kemuliaan ditentukan oleh sikapnya terhadap hidup. Justru karena menghargai kehidupan, ia siap mati demi kehidupan. Ia memilih mati untuk hidup.
Ia hendak mengajarkan kepada kita semua cara memaknai dan menghargai hidup hakiki.
Orang mulia siap mati untuk hidup. Hidup bagi orang mulia bukan hanya bernapas, tapi hidup adalah kemerdekaan. Ia memilih mati untuk hidup merdeka. Hidup tanpa kemuliaan dan kemerdekaan adalah mati, mati jiwa, nalar dan harga diri.
“Hari-hari raya kami adalah hari-hari duka. Pesta kami adalah kesyahidan.” (Zainal Abidin AS)