REDEFINISI OTORITAS AGAMA

Menghina seseorang, apalagi miskin, di ruang publik bukan hanya merupakan pelanggaran etika dan moral, namun juga mencerminkan kriisis intelektual akut dan gangguan mental psikologis kronis yang mestinya tidak diidap oleh pemuka agama dan pejabat negara.
Karena itu, meski sudah meminta maaf dan menebus sikapnya dengan hadiah umroh sekeluarga bahkan menampilkan penjual yang telah dihina dalam poster pengajian setelah dihujat secara nasional, kecaman terus menghujaninya dan para tokoh agama yang ngakak bareng, malah mulai ungkap sisi personalnya dan semua hartanya, termasuk arloji mahal dan kacamata mewah yang dipakai, Kini jam tangan, kaca mata, jas dan semua hartanya dibongkar tuntas.
Mungkin menurut netizen, Ini bukan soal satu orang yang dihina tapi soal nasib kelas bawah yang makin terinjak oleh doktrin takdir yang dijadikan sampul relasi kuasa, kapitalisme, borjuisme dan oligarki, juga bukan soal seseorang yang menghina tapi soal arogansi status quo kuasa kultural pemuka agama yang hedonis dan kuasa struktural pejabat negara yang minim integritas.
Ironis! Ceramah agama dan omong jorok yang selalu melecehkan perempuan adalah dua hal kontras yang sering digabung di hadapan jamaah yang terdiri dari laki, perempuan, bocah dan dewasa. Penceramahnya dibayar puluhan juta.
Orang itu bisa saja melaporkannya atas pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan serta menuntut ganti rugi dalam bilangan yang bisa melebihi biaya umroh sekeluarga. Tapi dada kebanyakan orang miskin lebih lebar dan mudah iba.
Terlepas dari kejadian viral ini, pandangan mainstream tentang otoritas agama perlu penyegaran.