Skip to main content

RELIJIUSITAS KOSMETIK

By December 20, 2016No Comments

Di kaca mobil mewah tasbih bergelantungan. Cewek berjilbab ikut casting dan kontes lagu dangdut. ‘I’m a Moslem’ (khusus yang diinggriskan) juga menjadi stiker umum. Di café kita mendengar orang berdasi saat meeting dengan mitranya bergumam ‘alhamdulillah’. Di ruang pengadilan, koruptor di pesakitan saat mendengar vonis hukuman, teriak ‘astaghfirullah’. Di kuburan orang-orang yang melayat mengucapkan ‘inna lillah’. Di bursa saham kita lihat orang menepuk dahi sambil berteriak ‘Ya Allah’ (yang sebagian mem-pleset-kannya menjadi ce ileh). Di majelis taklim, ustadz kadang merasa perlu menyihir hadirin dengan ‘waLlahi’ (demi Allah). Dalam konferensi pers, Pak Pejabat memulai ucapannya dengan ‘bismillah’ dan menutupnya dengan ‘assalamu… wa rahamatullahi wa barakatuh’. Di pentas dangdut, penyanyi melantunkan lagu yang disisi dengan ‘Ya Allah’. Artis yang memperlihatkan sebagian dada silikonnya juga tidak segan-segan menyebut ‘insya Allah’. Aksi penyerbuan terhadap minoritas juga riuh dengan "Allahu akbar". Orang-orang yang diberi gelar "sesat" juga dapat kiriman langganan "laknatullah". Alhasil, hampir semua mulut yang bertengger di wajah setiap banyak muslim berlomba adu kefasihan mengucapkan kalimat yang memuat Alah, kata mahaindah ini.

Dosakah? Bukankah ini bukti kesalehan? Inikah verbalisme yang direncanakan untuk menjadikannya sekedar ‘gaya hidup’? Apa arti kata ini?

Sebuah kata bisa mengandung salah satu dari beragam pengertian; Pertama, kata yang dipergunakan sebagai nama umum atau atribut universal saja. Kedua, kata yang digunakan sebagai nama universal dan personal sekaligus. Ketiga kata yang digunakan sebagai nama personal (alam syakhshi) semata.

Dalam bahasa Arab, kata “Allah” sebagai lafdh al-jalalah (nama kebebasaran) dipergunakan dan ditetapkan sebagai nama personal (alam syakhshi). Sedangkan ar-rahman ditetapkan sebagai predikat khusus. Selain dari kata Allah (yang merupakan nama khusus) dan kata al-rahman (yang merupakan sifat khusus), tidak bersifat khusus. (Lihat M. Fuad Abdul-Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfadh Al-Qur’an, hal. 62-63).

Itulah sebabnya mengapa kata “rabb”, ilah”, “khaliq” digunakan untuk selain Allah, bahkan “ra’uf” dan “rahim” digunakan untuk Nabi, sebagaimana tertera dalam surah at-Taubah ayat 128 Keenam, kata sebagai nama khusus yang sejak semula ditetapkan untuk menunjuk sebuah maujud tertentu dan sebelumnya tidak pernah ada dalam arti umum.

Karena Tuhan tak terindrakan, maka untuk mengenali dan berhubungan dengan Sang Zat itu, digunakanlah sebuah simbol unik yang berkonotasi secara eksklusif, yaitu Allah. Atas dasar itu, kata baku “Allah”, yang disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 930 kali, juga kata olahan (musytaq)-nya, ditetapkan sebagai sebuah “nama personal”, dan ia tidak mempunyai arti selain zat Adikodrati Swt.

Karena oleh sebagian besar mufassir dianggap sebagai ism makrifah (frase definitif, tertentu), menurut kaidah gramatika Arab populer, maka kata personal Allah kurang tepat dikaitkan dengan sebutan panggilan “ya” yang umumnya disandingkan dengan kata yang tidak definitif (tanpa alif dan lam). Kata “Ya” (wahai) diganti dengan huruf mim yang di-syaddah-kan dan difathahkan pada bagian akhir kata Allah, maka jadilah “Allahumma”. Kata panggilan khas ini ditemukan 1 kali dalam surah ali-imran ayat 26, 1 kali dalam al-maidah ayat 114, 1 kali dalam al-anfal ayat 32, 1 kali dalam Yunus ayat 10, 1 kali dalam az-zumar ayat 46. (Lihat Muhammad Fuad Abd. Baqi, Al-mu’jam al-mufahras, 96, Istanbul)
.
Sebagian ulama mengganggap kata Allah sebagai kata definitif yang bersasal dari kata non definitif ilah (tuhan dengan ‘t’ kecil). Kata “ilah”, menurut meeka mengikuti wazan (tipe) fi’al” yang berarti “maf’ul”, yang berarti “ma’bud” (yang disembah atau yang patut disembah), sebagaimana “kitab” yang berarti “maktub” (yang ditulis). Sebagian lain ulama menolaknya. Menurut mereka, kata Allah bukanlah bentuk olahan dari ilah, (Arab), namun berasal dari bahasa Ibrani yang mengalami arabisasi.. Mungkin karena itu, dalam agama ortodoks Suriah bahkan sekte-sekte Kristen lainnya, kata diyakini sebagai nama personal Tuhan Bapa. (Lihat Summa Theologica, Ia, q. 2, a. l. Louis Leahy SJ, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Pustaka Filsafat, hal. 141).

Kata “tuhan” dalam bahasa Indonesia, misalnya, hampir memiliki arti yang berdekatan dengan “tuan’ yang berarti “majikan” atau “pemilik”, seperti tuan rumah yang berarti pemilik atau kata “Hyang” yang memiliki arti berdekatan dengan “eyang’ yang berarti kakek atau nenek. (Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, hal: 963).

Selain yang dikaitan dengan Allah, masih banyak lagi kosa kata dan simbol verbal relijius yang perlahan-lahan mulai ‘dianiaya’ dan dikikis substansi spiritualnya akibat penggunaan yang serampangan, pemahaman yang dangkal dan penge-pop¬-an (peng-genitan) yang sudah kebablasan. Kita bisa menemukan, misalnya, ‘halal bi halal’ digunakan hanya untuk membuat deal-deal politik yang merugikan kepentingan bangsa, ‘silaturahmi’ menjadi ajang reuni para politisi, bahkan ‘dakwah’ dijadikan kedok kampanye calon bupati atau gubernur.

Memang, menggunakan kata-kata relijius, apalagi dengan tujuan mengambil berkah dan menganggungkan syiar Allah, dapat dianggap sebagai kesalehan, namun mengeksploitasinya demi pembodohan rakyat, manipulasi opini dan kebohongan publik apalagi demi menjustifikasi perbuatan atau keputusan yang korup adalah pelecehan terhadap simbol agama. Mensyukuri kekayaan tidak cukup dengan alhamdulillah versi verbal, namun juga dengan alhamdulillah versi aktual. Pelaku korupsi dan kejahatan lainnya mungkin bisa dicari celah hukumnya untuk dibebaskan, tapi hukum Tuhan tidak akan bisa dianulir hanya dengan ucapan ‘astaghfitrullah’.