"RELIJIUSITAS MIE INSTAN"

"RELIJIUSITAS MIE INSTAN"
Photo by Unsplash.com

Dari beberapa pengamatan dan pengalaman komunikasi dengan beberapa orang, saya menyimpulkan bahwa sebagian besar orang yang jenuh setelah menjalani gaya hidup modern dan hedonis terdorong menjadi relijius radikal.

Tak hanya mengubah gaya hidupnya yang serba glamour, manusia modern yang sadar limit usia dalam kesendirian dan dihantui selaksa suram keterasingan, membuang nalar kritis yang dicurigainya sebagai fatamorgana yang telah membuatnya tertipu.

Para ustadz yang menjadi agen-agen intoleransi dengan semangat menampung mereka dan menginjeksikan teologi yang bugil logika. Maka jangan heran jika akhir-akhir ini bermunculan di tengah kita individu-individu kelas menengah ke atas yang mendadak relijius dengan sikap konservatif dan pandangan intoleran.

Meski tak mesti bergabung dengan kelompok-kelompok radikalis dengan memajang jargon hijrah dan semacamnya, escapisme ini menjalari lapisan profesional yang menjadi pemasok dana untuk beragam aktivitas keagamaan berciri "teriak".

Dengan modal kutipan ceramah ustadz versi teriak-teriak dengan beberapa penggal teks terjemahan, mereka tak hanya jadi relijius dadakan namun jadi pendakwah ala mie instan di aneka sosmed menyebar hoax dan ujaran kebencian serta aktif full pede menulis dan memberikan comment agresif di medsos.

Bak cendawan di musim hujan generasi gamang ini tumbuh di semua area penting dalam masyarakat, mulai dari Kementerian, BUMN, korporasi asing hingga majelis taklim di komplek elite.

Fenomena mendadak relijiusitas lebih mencolok di kalangan emak-emak borju tapi anti kafir yang belakangan mulai ikutan ngevlog dengan celoteh-celoteh berbedak agama.

Dalam pemilu mereka menjadi marketer kebencian demi mendukung paslon yang telah dipilihnya dengan bekal post-truth.

Read more